Itu reaksi spontan yang muncul di kepalaku saat pertama kali mendengar pengumuman tersebut ketika kami masih berada di tanah air.
Memangnya berapa jauh apartemen transit itu dari Masjidil Haram, pikirku bandel ketika itu. Masa’ sih nggak bisa ke Masjidil Haram ?
Itu pikiranku saat masih di tanah air.
Lalu ketika sudah berada di Mekah, pikiran lain muncul. Ah, pikirku, barangkali bisa diatur dengan ikut bus yang rutenya melewati pondokan jamaah haji reguler. Bus itu berhenti di sebuah terminal tak jauh dari Masjidil Haram. Jadi jalan kakinya tak banyak.
Aih. Itu pikiran- pikiran bandel yang pada akhirnya toh tak kulaksanakan juga, sebab akhirnya kutemukan fakta bahwa informasi yang kami terima sebelumnya itu akurat. Akan sulit mencapai Masjidil Haram pada beberapa hari menjelang puncak haji, dan waktu tersebut lebih baik digunakan untuk mempersiapkan diri menjelang waktu kami berangkat ke Mina dan Arafah saja.
Menyimpan energi dan menjaga kesehatan menjelang puncak haji. Itu yang terpenting.
***
Walau sehari- hari kami tak membutuhkan alat transporasi, kami pernah mencoba bus yang disediakan gratis oleh pemerintah bagi para jamaah haji Indonesia, sebab bersamaan dengan saat kami naik haji, salah satu adik suamiku beserta istrinya juga sedang beribadah haji. Kami sempat mengunjungi tempat mereka menginap. Letaknya tak begitu jauh juga dari Masjidil Haram, dan tersedia bus yang berkeliling dari dan menuju Masjidil Haram dari area pondokan haji itu.
Dari situlah pemikiranku tentang kemungkinan Masjidil Haram tetap bisa kami kunjungi menjeang puncak haji muncul. Â Jika taxi atau kendaraan lain tak bisa mencapai Masjidil Haram, pikirku, mungkin kami bisa naik kendaraan sampai ke pondokan adik ipar kami dan dilanjutkan dengan naik bus dari situ ke terminal di Masjidil Haram.
Yang terjadi..