Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kembalilah ke Tanah Air Seusai Menyelesaikan Pendidikan di Luar Negeri

17 Agustus 2016   13:12 Diperbarui: 17 Agustus 2016   19:48 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selasa siang, 16 Agustus 2016, sehari sebelum hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke 71.

AKU duduk berhadapan dengan putri sulungku, menikmati makan siang kami.

Sama sekali tak tergesa, aku memang ingin menggunakan waktu dimana kami berada berdua itu untuk pecakapan antara ibu dan anak. Menyampaikan beberapa pesan padanya, si sulung yang tak lama lagi akan tinggal terpisah cukup jauh dengan kami.

Pada pagi harinya, aku mengantarkan putriku itu untuk mengurus permintaan visa belajar di luar negeri.

Putriku lulus sidang tugas akhir di Fakultas Teknik sebuah Perguruan Tinggi Negeri di tanah air beberapa bulan yang lalu dan lalu mendapatkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Full scholarship, seluruh biaya dari mulai pegurusan visa, pesawat menuju ke negeri tujuan, biaya yang berhubungan dengan biaya kuliah, biaya hidup, hingga nanti biaya pesawat untuk kembali ke tanah air ditanggung pemberi beasiswa.

Dan aku tahu, inilah saatnya..

Ini titik dimana dia akan mulai mengepakkan sayapnya, terbang tinggi jauh dari tanah air, di usianya yang ke 21.

Aku sadar, ini juga merupakan buah dari banyak pembicaraan yang pernah kami orang tuanya, ayah dan ibunya baik bersama- sama maupun sendiri- sendiri lakukan dengan putri kami.

Dari percakapan ringan saat dirinya masih di bangku awal Sekolah Dasar, dimana kami berpesan padanya untuk rajin belajar “supaya nanti saat sudah besar bisa sekolah keluar negeri, gratis, ada yang mbayari – seperti yangkung, Bapak, oom.. “

Lalu percakapan lebih serius ketika cah ayu ini duduk di bangku sekolah menengah ketika dia mengatakan padaku, “ Ibu, aku nanti mau sekolah sampai Doktor. “

Aku mengangguk ketika itu.

“ Ya, jawabku. Belajarlah yang rajin biar bisa jadi Doktor. “

“ Aku nanti sekolahnya di luar negeri ya, Bu.. “

“ Ya, “ aku kembali mengangguk. “ Belajar yang rajin ya Nduk. Nanti cari beasiswa. Sekolah di luar negeri itu mahal, Bapak dan ibu mungkin tidak mampu membiayai kalau harus bayar sendiri.. “

Dan si Nduk cah ayu itu membuktikan tekadnya. Gadis mungil ini memang gigih dan tekadnya kuat. Dia tak banyak bicara, tapi hasil yang diraihnya mencerminkan usaha kerasnya. Nilai- nilai di sekolahnya cemerlang. Selulus SMA, dia diterima di Perguruan Tinggi Negeri ternama yang terkenal sangat sulit ditembus tanpa harus mengikuti testing sebab nilai- nilai cemerlangnya.

Di Perguruan Tinggi, bukan hanya kemampuan akademiknya yang berkembang, tapi soft skill-nya juga.

Tetap berpenampilan manis dan sederhana, dia aktif di banyak kegiatan organisasi. Seiring dengan nilai akademiknya yang tetap cemerlang, dia menyelingi masa kuliahnya dengan mendapatkan kesempatan mengikuti pertukaran mahasiswa, mengikuti seminar dan lomba- lomba internasional di luar negeri – gratis. Hal- hal itu diperolehnya atas upayanya sendiri melalui karya tulis dan serangkaian wawancara seleksi yang diikutinya.

Dia teguh dengan cita- citanya,  “ Aku mau sekolah sampai Doktor. “

Dan dalam percakapan serupa itu, ada satu hal yang senantiasa kukatakan padanya, “ Ya. Sekolahlah setinggi yang kau mau, Nduk, tapi nanti, pulanglah ke Indonesia, ya. Kembali dan bangunlah negeri ini. Indonesia perlu orang- orang pintar yang berwawasan luas untuk memajukan negeri.. “

***

Selasa, 16 Agustus 2016, sehari menjelang peringatan hari kemerdekaan.

Ada butiran bakso, daging, tahu dan sayur- mayur dalam kuah yang menggelegak di hadapan kami berdua. Kami duduk berhadapan. Ini beberapa minggu sebelum keberangkatan untuk masa tinggal yang cukup lama di luar negerinya. Aku menanyakan rencananya. “ Nanti jadi mau internship dulu disana setelah selesai kuliah ini ? “

“ Iya, aku sambil lihat- lihat, bu, “ jawab cah ayu itu. “ Kalau dapat, aku internship sekalian dulu. “

Aku mengangguk.

“ Kalau kau mau terus sekolah lagi setelah itu, sekalian lihat- lihat peluang untuk dapat beasiswa lanjutannya, Nduk. Mungkin kalau nyarinya pas sedang disana, bisa dapat informasi banyak dan lebih mudah dapat beasiswanya. “

Putriku mengirup kuah hangat dari mangkoknya sambil menjawab, “ Iya, bu.. “

Lalu kuulangi lagi pesanku, “ Jangan lupa, Nduk. Selesai sekolah nanti, selulus Doktor, pulanglah kesini.. “

Anak gadisku tersenyum, mengangguk sambil menambahkan, “ Ya. Tapi jangan lupa bu, ibu pernah bilang, setelah lulus Doktor, aku boleh kerja sekitar empat tahunan dulu di luar negeri jika aku mau, sebelum pulang.. “

Aku tertawa.

“ Empat tahun? Bukannya ibu bilang dua tahun ? “

“ Ibuuuu… “ putriku tertawa. “ Mulanya ibu bilang empat tahun. Setelah itu baru ibu terus ngurang- ngurangin sampai jadi dua… “

Aku terbahak. Putriku mungkin benar. Aku sendiri tidak ingat persisnya berapa tahun yang pernah kuucapkan tentang “boleh kerja dulu di luar negeri kalau mau tapi setelah itu pulang” – bisa jadi memang mulanya kukatakan empat tapi lalu kukurangi menjadi dua setelah menyadari betapa aku akan merindukan putriku ini jika dia berada di tempat yang jauh, ha ha.

“ Ya okelah, “ jawabku akhirnya, juga tertawa, “ Empat tahun. Setelah itu pulang. “

Putriku mengangguk.

Aku lega.

***

Aku serius tentang hal itu – tentang pesanku pada putriku untuk pulang ke Indonesia setelah sekolah tinggi dan mencari pengalaman kerja beberapa tahun di luar negeri.

Walau memahami pilihan banyak orang yang memutuskan untuk tinggal dan bekerja di luar negeri, juga mengerti bahwa ada banyak pertimbangan dan pengalaman yang membuat seseorang bukan hanya tinggal tapi bahkan juga lalu mengganti kewarganegaraannya, hingga saat ini pesan serupa itulah yang kukatakan pada putri sulungku. Pesan yang kelak juga akan kukatakan jika adik- adiknya, para anak lelakiku, mengikuti jejak kakaknya untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri.

Tentang “kembalilah ke Indonesia seusai sekolah” itu, tindakan yang sama dulu juga diambil oleh ayahku, suamiku dan adikku, yang kembali ke tanah air seusai menyelesaikan pendidikan lanjutan mereka di luar negeri.

Secara pribadi, harapanku  bagi anak- anakku adalah mereka memiliki akar yang kuat, kokoh menancap di negeri ini, lalu mereka tumbuh mengembangkan diri, mengepakkan sayap dengan mendapatkan pendidikan yang tinggi dan baik, memiliki pengalaman internasional dan wawasan global untuk kemudian kembali menyumbangkan pemikirannya bagi bangsanya.

Aku berharap, jika kelak Allah mengijinkan putra- putriku berkembang serupa itu, dengan kembalinya mereka ke tanah air seusai menyelesaikan pendidikan dan memperoleh pengalaman internasional mereka, putra putriku ini bisa turut serta membangun negeri.

Semoga doa dan harapanku ini dikabulkan oleh Sang Maha Cinta, Sang Pemilik Hidup..

Dirgahayu Indonesia !

p.s. Bersambung ke Hujan Emas di Negeri Orang, Hujan Harapan Membangun Negeri di Tanah Air

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun