Kami percaya, pendidikan yang baik akan bisa memperbaiki kehidupan seseorang.Â
MAKA, sudah sejak lama, zakat yang kami suami-istri sisihkan dari penghasilan kami difokuskan pada upaya untuk meningkatkan pendidikan anak-anak di sekitar lingkungan kami.Â
Bukan hanya setelah menikah, dulu saat lajang pun aku sering melakukannya. Sebab orang tuaku memiliki paham yang sama (in fact, aku mewarisi paham ini memang dari kedua orang tuaku). Bukan sekali dua kali saat aku sudah bekerja dan memiliki penghasilan sendiri orang tuaku menghubungi menanyakan apakah aku bisa menyisihkan dana untuk membiayai anak tetangga yang kurang mampu agar mereka tak putus sekolah.
***
Kami tak menyeleksi anak-anak yang kami bantu.Â
Asal anaknya memang mau sekolah tapi orangtuanya tak mampu membiayai, kami bantu sebatas kemampuan kami.Â
Di antara anak- anak itu ada yang cemerlang, yang prestasi akademiknya sangat baik. Ada yang biasa-biasa saja.Â
It doesn't matter.Â
Kami percaya bahwa memperoleh pendidikan yang baik adalah hak setiap anak. Walau sayangnya memang, masih ada banyak orangtua dari anak-anak yang sempat kami bantu yang tak paham atau menyadari hal itu.
***
Upaya membantu anak-anak di sekitar kami untuk terus bersekolah tak selalu berjalan mulus.Â
Dulu, orangtuaku pernah membiayai seorang anak yang sekelas dengan adikku saat duduk di bangku SD. Anak ini juara umum di SD yang termasuk SD unggulan di kota kami. Sangat cerdas, adikku yang sekelas dengannya saja tak pernah bisa menandingi nilai-nilai yang diraih kawannya itu. Ayah kawan adikku itu adalah pengumpul barang bekas. Sehari-hari menarik gerobak mengumpulkan barang-barang itu.
Lulus SD, oleh orangtuaku, anak ini didaftarkan ke SMP yang sama dengan SMP tempat adikku bersekolah. Sayangnya, menginjak semester 2 di kelas 1 SMP, anak ini ditarik keluar dari sekolah oleh orangtuanya sebab ayahnya membutuhkan tenaga anak lelakinya ini untuk mencari barang bekas.
Orangtuaku tak putus asa. Mereka membujuk orangtua anak ini agar anaknya diijinkan sekolah kembali. Tahun depannya sang anak didaftarkan lagi masuk kelas 1 SMP di sekolah lain oleh orang tuaku. Tapi... lagi-lagi sebelum naik kelas dua SMP anak ini ditarik keluar dari sekolah oleh orangtuanya. Putus sekolahlah sang juara itu.
Kelak saat sudah dewasa, anak ini pernah datang mampir untuk bersilaturahmi menemui orangtuaku. Dia mengatakan sangat menyesal dulu putus sekolah. Di masa dewasanya anak ini juga menjadi pengumpul barang bekas. Dia memiliki beberapa gerobak yang berkeliling dan hasil pengumpulannya dikoordinir oleh dia.
***
Cerita lain yang hampir serupa terjadi pada anak di kampung dekat rumah kami saat aku sudah menikah.Â
Anak ini kami biayai sejak SD. Lalu juga saat SMP.Â
Selalu cemerlang di sekolah, anak ini dengan mudah menembus seleksi masuk SMP negeri favorit di kota kami. Tapi selulus SMP, kami dapati dia tak lagi meneruskan sekolah, sebab diminta oleh orangtuanya bekerja di pabrik. Kasihan, anak perempuan sekecil itu, tangannya sampai luka-luka sebab bekerja di pabrik tersebut.
Kami bujuk orangtuanya agar mengijinkan anak tersebut bersekolah kembali. Tiga tahun lagi saja, begitu kami katakan. Biar dia masuk SMK dulu.Â
Tahun ajaran berikutnya, setelah setahun putus sekolah, anak ini kembali bersekolah. Masuk SMK. Tetap cemerlang di sekolah. Sempat bekerja sebentar menjadi kasir di sebuah department store besar, lalu tak lama setelah itu dinikahkan oleh orangtuanya.Â
Well... at least, dia lulus SMK. Lebih baik daripada putus sekolah saat SMP.
***
Dua kejadian itu sudah lama terjadi. Bertahun lalu. Eh ndilalah... rupanya bahkan sekarang pun cerita yang sama masih ada.
Asisten rumah tangga kami seorang janda.Â
Anaknya yang besar sudah berkeluarga. Anak keduanya kelas 3 SMP. Dibiayai sekolahnya oleh ayahnya, mantan suami asisten rumah tangga kami itu.Â
Dan beberapa hari yang lalu, anak perempuan ini menelepon ibunya yang bekerja di rumah kami sambil menangis-nangis. Ayahnya marah padanya. Sebab anak ini rupanya tertidur saat seharusnya menjaga warung sate milik sang ayah. Ayahnya juga tertidur saat itu. Mereka berdua sama-sama tertidur. Tapi sang ayah marah besar pada anaknya dan berujung pada keputusan bahwa ayahnya itu tak lagi mau membiayai sekolah sang anak.
Ealah... Ya sudah. Kami katakan pada asisten rumah tangga kami untuk menyampaikan pada anaknya agar selulus SMP ini tetap mendaftar ke SMK. Biar kami yang membiayai.Â
Soal biaya, kami ikhlas. Yang bikin gemas adalah... aduuhhh... bagaimana yaaaa agar ada kesadaran para orangtua agar tak semudah itu memutuskan anak-anak untuk keluar dari sekolah.
Aku yakin, kejadian di mana anak-anaknya sendiri masih mau sekolah tapi orangtuanya dengan beragam alasan memutuskan agar anak tak usah lagi melanjutkan sekolah ada banyak terjadi. Kejadian yang kami lihat ini mungkin hanya sedikit contoh dari ribuan atau bahkan jutaan kasus lain.
Prihatin... prihatin...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H