Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tas Sekolah Anak, Urusan Siapa?

22 Februari 2016   00:02 Diperbarui: 22 Februari 2016   00:37 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“ Ini kamu yang sekolah, ( koq ) mama yang bawa tas-nya.. “

SUATU pagi di stasiun KRL, aku mendengar kalimat itu diucapkan.

Di pagi hari, selain orang- orang yang hendak berangkat bekerja, stasiun KRL memang juga dipenuhi para anak sekolah, dan orang tua yang akan mengantarkan anak- anak tersebut ke sekolah.

Kutoleh sang empunya suara. Seorang ibu dengan anak lelaki usia Sekolah Dasar.

Anaknya menjawab kalimat sang ibu dengan satu kata saja, “ Begitulah. “

“ Begitulah bagaimana.. kamu tu enak betul, ya, “ tukas ibu tersebut pada anaknya.

Kuperhatikan apa yang terjadi. Ingin melihat, apakah ibu- ibu yang mengatakan hal tersebut pada anaknya sedang menyerahkan tas sekolah pada sang anak, atau bagaimana.

Tapi rupanya tidak. Ibu itu tetap membawakan tas sang anak di bahunya.

Aku tersenyum dalam hati.

***

[caption caption="Gambar: minghuibag.en.made-in-china.com"][/caption]Soal tas sekolah, itu cerita klasik.

Seorang temanku pernah bercerita, suatu pagi duluuuu, bertahun yang lalu, dia pernah bertemu ibu- ibu yang rupanya hendak mengantar anaknya ke sekolah. Ada ibu, ada anak, dan ada baby sitter-nya.

Entah bagaimana, pagi itu tas sekolah sang anak rupanya ketinggalan di rumah.

Ada tas- tas lain yang sudah dibawa ( tas isi bekal, dan tas lain yang entah bersi apalagi ), tapi tas berisi buku pelajarannya justru tidak terbawa.

Dan hebohlah sang ibu menelepon (serta mengomel) kesana- kemari. Mempertanyakan pada baby sitter, mengapa tas bisa ketinggalan. Menghubungi suami, dan juga supirnya, untuk mengatur agar tas yang ketinggalan itu diantarkan.

Aku dan teman yang menceritakan peristiwa itu dulu tersenyum- senyum sambil geleng- geleng kepala ketika kami mengobrolkan hal tersebut. Sebab menurut temanku yang menyaksikan peristiwa tersebut, anak perempuan yang tas sekolahnya ketinggalan itu justru tenang- tenang saja, tidak tampak merasa bersalah, dan juga lolos dari pertanyaan ibunya tentang mengapa tas sekolahnya bisa ketinggalan.

Jelas, sang ibu menganggap bahwa orang lainlah, dan bukan sang anak yang bertanggung jawab atas tidak terbawanya tas sekolah tersebut.

Itu sebabnya kukatakan, urusan tas sekolah itu cerita klasik. Dalam beragam versinya, dulu dan sekarang, cerita yang sama terus terjadi.

***

Bahwa para orang tua mencintai anaknya dengan cinta yang tak terbatas, tak pernah kupertanyakan. Sebagai orang tua, kupahami hal itu.

Tapi bahwa orang tua yang harus sibuk mengurusi tas sekolah dan membawakan tas-nya dan membebaskan sang anak dari urusan tersebut (untuk memudahkan anak, atas nama cinta), itu tak kusetujui.

Bagian dari rasa cinta pada anak- anak, saat membesarkan mereka, adalah mengajarkan pada mereka untuk bisa bertanggung jawab dan mandiri. Dan mengurus keperluan sekolahnya sendiri, menurut pendapatku, merupakan bagian dari pendidikan tentang tanggung jawab dan kemandirian itu.

Anak- anak kami sendiri, sejak kecil, dibiasakan untuk mengurus tas sekolahnya. Untuk menyiapkan sendiri buku- buku yang diperlukan hari itu di sekolah. Untuk memasukkan kotak bekalnya sendiri ke tas di pagi hari dan mengeluarkannnya lagi dari tas di siang hari sepulang sekolah.

Kami memiliki asisten rumah tangga yang membantu kami menjaga anak- anak. Tapi para asisten rumah tangga ini dengan tegas kami larang untuk membantu anak- anak mengurusi atau membawakan tas sekolah anak- anak kami. Kami jelaskan pada para asisten rumah tangga kami itu , apa alasannya sehingga mereka bisa memahami dan lalu menjalankan apa yang kami minta itu tanpa merasa bahwa mereka tak melakukan tugasnya dengan baik, mengingat pada saat yang sama pemandangan para orang tua dan pengasuh membawakan tas anak- anak menjadi pemandangan biasa.

Kami juga mengajarkan pada anak- anak untuk menanggung konsekwensi atas tindakannya. Jika dia tidak tertib dalam mempersiapkan buku atau keperluan lain untuk sekolah, dan akibatnya dia ditegur guru di sekolah atau nilainya dikurangi sebab, kami biarkan itu terjadi -- tidak kami buatkan alasan- alasan untuk menghindarkan mereka dari konsekwensi yang tak enak itu. Tujuannya, agar mereka bisa belajar bahwa kelalaian atau kemalasan itu membedakan hasil (dengan jika mereka tertib dan rajin) dan kelak tak lagi mengulangi kelalaian atau kemalasan yang sama.

Menurut pendapat kami, itu juga bagian dari pelajaran tentang tanggung jawab. Kemampuan untuk bertanggung jawab ini akan sangat mereka perlukan dalam perkembangan kepribadian mereka ke depannya.

***

Kembali pada ibu dan anak yang pagi- pagi kutemui di stasiun kereta, yang ibunya protes pada sang anak, mengapa anaknya yang sekolah tapi ibunya yang membawakan tas sekolahnya, he he.. menurutku, jika hal itu dianggap salah, maka yang salah ya ibunya.

Kenapa pula sang ibu membawakan tas tersebut? Mengapa dia tak membiarkan saja anaknya membawa tasnya sendiri ?

Membawakan atau mengurusi tas anak- anak akan ‘membebaskan mereka dari kesulitan’ saat mereka kecil, tapi mungkin dampak jangka panjangnya justru akan mengundang kesulitan, jika anak- anak itu berkembang menjadi anak yang tak paham tanggung jawab, kurang mandiri atau tak memahami konsekwensi atas tindakannya serta tak terbiasa untuk berusaha melakukan sesuatu untuk mencapai hasil yang diinginkan. Kalau sudah seperti itu, malah repot nanti. Lebih repot (dan lebih kasihan) dari sekedar membiasakan anak mengurus dan membawa tas sekolahnya sendiri saat mereka masih kecil...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun