Seorang temanku pernah bercerita, suatu pagi duluuuu, bertahun yang lalu, dia pernah bertemu ibu- ibu yang rupanya hendak mengantar anaknya ke sekolah. Ada ibu, ada anak, dan ada baby sitter-nya.
Entah bagaimana, pagi itu tas sekolah sang anak rupanya ketinggalan di rumah.
Ada tas- tas lain yang sudah dibawa ( tas isi bekal, dan tas lain yang entah bersi apalagi ), tapi tas berisi buku pelajarannya justru tidak terbawa.
Dan hebohlah sang ibu menelepon (serta mengomel) kesana- kemari. Mempertanyakan pada baby sitter, mengapa tas bisa ketinggalan. Menghubungi suami, dan juga supirnya, untuk mengatur agar tas yang ketinggalan itu diantarkan.
Aku dan teman yang menceritakan peristiwa itu dulu tersenyum- senyum sambil geleng- geleng kepala ketika kami mengobrolkan hal tersebut. Sebab menurut temanku yang menyaksikan peristiwa tersebut, anak perempuan yang tas sekolahnya ketinggalan itu justru tenang- tenang saja, tidak tampak merasa bersalah, dan juga lolos dari pertanyaan ibunya tentang mengapa tas sekolahnya bisa ketinggalan.
Jelas, sang ibu menganggap bahwa orang lainlah, dan bukan sang anak yang bertanggung jawab atas tidak terbawanya tas sekolah tersebut.
Itu sebabnya kukatakan, urusan tas sekolah itu cerita klasik. Dalam beragam versinya, dulu dan sekarang, cerita yang sama terus terjadi.
***
Bahwa para orang tua mencintai anaknya dengan cinta yang tak terbatas, tak pernah kupertanyakan. Sebagai orang tua, kupahami hal itu.
Tapi bahwa orang tua yang harus sibuk mengurusi tas sekolah dan membawakan tas-nya dan membebaskan sang anak dari urusan tersebut (untuk memudahkan anak, atas nama cinta), itu tak kusetujui.
Bagian dari rasa cinta pada anak- anak, saat membesarkan mereka, adalah mengajarkan pada mereka untuk bisa bertanggung jawab dan mandiri. Dan mengurus keperluan sekolahnya sendiri, menurut pendapatku, merupakan bagian dari pendidikan tentang tanggung jawab dan kemandirian itu.