Tentang benda kesayangan si kecil
BARUSAN aku membaca tulisan yang dibuat oleh Umm Mariam. Tentang benda kesayangan si bungsu, sebuah guling yang dipanggilnya Mr. Dinosaur, yang harus dibawa kemana- mana, dan upaya- upaya yang dilakukan oleh Umm Mariam (beserta seluruh keluarganya) untuk melepaskan si bungsu dari ketergantungannya pada benda tersebut.
Aku jadi teringat, hal yang sama pernah terjadi pada anakku. Si sulung bayi perempuan kami ketika itu, sangat tergantung pada dua benda. Satu adalah sebuah boneka, soft toy berwarna putih pink yang sebab karena bentuknya kami namai Si Ndut, yang lain adalah guling bayi, beserta sarung gulingnya yang bermotif bunga- bunga.
Dua benda itu, dibawa kemanapun dia pergi.
Terutama gulingnya.
Guling itu, tentu saja, sebetulnya ada sepasang. Begitu juga dengan sarung gulingnya. Tapi guling kesayangannya hanya satu dari dua guling sepasang itu. Juga sarungnya, salah satu yang tertentu.
Si sulung bahkan akan tahu jika gulingnya benar ‘yang itu’, tapi sarungnya adalah sarung lain yang sebetulnya motifnya serupa. Entah bagaimana, dia tahu bahwa sarungnya ‘bukan yang itu’.
Mula- mula, seperti banyak orang tua lain, kami menganggap kebiasaan itu lucu. Dan kami turuti saja, kemanapun pergi, ‘guling bau’ – begitu kami menyebutnya – kesayangan si sulung juga akan ikut. Terutama jika kami akan pergi keluar kota, guling ini akan kami pastikan turut terbawa. Sebab jika tidak, bayi mungil kami itu akan rewel jadinya.
Sampai kemudian suatu saat, saat dia beranjak besar (rasanya sekitar usia dua tahun), kami menganggap sudah waktunya ketergantungan dia pada guling itu dihentikan.
Yang kami lakukan saat itu bertahap. Mulanya, kami menyengaja memasangkan sarung bantal yang serupa motifnya dengan yang biasa dia pakai pada guling kesayangannya. Jika dia bertanya, kami akan mengatakan bahwa sarung guling yang biasanya sedang dicuci. Nanti diganti lagi.
Kami memang melakukannya selang- seling. Sarung guling ‘yang benar’ masih kami pasangkan juga kemudian, untuk sekedar membuatnya merasa aman, tahu bahwa sarung guling kesayangannya masih ada. Tapi hanya untuk periode pendek, kami ganti lagi dengan sarung guling yang sama motifnya tapi bukan sarung guling yang biasa dipakainya.
Lalu setelah beberapa waktu, guling kesayangannya itu sering kami bungkus dengan sarung guling lain, bukan yang bermotif serupa. Sampai dia terbiasa bahwa guling kesayangannya itu bisa dipasangi sarung guling yang mana saja.
Kemudian setelah itu, mulailah sedikit demi sedikit kami biasakan dia memeluk guling lain, bukan guling kesayangannya tersebut. Perlahan tapi pasti, dia tak lagi tergantung pada guling dan sarung guling tertentu. Guling itu tak kami singkirkan. Tapi ketergantungannya hilang.
Tentang si Ndut soft toy-nya, kami lakukan hal yang sama. Saat bermain dan bepergian, Â kami selang- seling kehadiran si Ndut dengan teman- temannya soft toy yang lain sampai si sulung tak lagi tergantung pada si Ndut.
Kami senang.
***
Lalu setelah itu, adiknya lahir.
Belajar dari pengalaman dengan si sulung, aku dan suamiku bertekad untuk tak membiarkan anak kami yang kedua ini tergantung pada suatu benda tertentu.
Tidak pada soft toy, atau pada bantal, guling dan semacamnya.
Yang kami lakukan?
Ya sejak dia bayi, kami membiasakan dia tidur dengan sarung guling, bantal, seprai yang berganti- ganti baik bantal – gulingnya sendiri, maupun motif dan warna sarung gulingnya. Begitu juga dengan soft toy, kami ganti- ganti mana yang diajak bermain dengannya.
Hal ini berjalan baik. Anak kedua kami (dan kemudian juga anak ketiga), tak memiliki ketergantungan pada bantal, guling, atau soft toy yang manapun setelah kami menerapkan cara pencegahan yang disebutkan di atas.
***
Belajar dari pengalaman dengan anak- anak kami, menurut pendapatku, sebetulnya juga ada ada andil orang tua dari ketergantungan anak pada suatu benda tertentu.
Dengan alasan ‘anaknya suka yang itu’, ‘biar anaknya tidak rewel’, ‘lucu’, dan sebagainya, orang tua lalu membiasakan anak tergantung pada bantal, guling, soft toy tertentu. Orang tualah, termasuk kami dulu, yang secara tidak sadar, tidak langsung, membuat anak merasa aman dan nyaman jika bepergian dengan benda tertentu yang itu – itu saja.
Maka, memang diperlukan sedikit ‘ketegaan’ untuk mencegah hal tersebut terjadi.
Dan menurut pendapatku juga, sebenarnya bagi orang tua, lebih enak dan mudah untuk mencegah daripada jika di kemudian hari harus melepaskan anak dari ketergantungan pada benda tertentu itu. Sebab jika anak sudah terlanjur tergantung, di awal- awal kita juga akan harus melihat anak gelisah saat benda kesayangannya mulai dijauhkan dari dirinya. Dan melihat anak kecil gelisah itu, bagi orang tua sebetulnya sangat menyayat hati, lho.Â
Itu sebabnya kenapa kami lalu memutuskan bahwa kami tak akan membiarkan anak kedua dan ketiga kami memiliki ketergantungan pada benda- benda tertentu di masa bayi mereka dengan cara mencegahnya sejak dini…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H