Maka sejak masih di Filipina, aku bahkan sudah sempat mengirimkan pesan pendek pada suami dan anakku yang rencananya akan menjemput malam itu di Bandara Soekarno Hatta untuk menunggu dulu berita dariku saat aku sudah tiba di Singapore nanti, apakah aku masih bisa terbang ke Jakarta malam itu atau harus menunggu hingga keesokan harinya.
Yang terjadi ternyata, aku memang mesti menanti hingga esok pagi.
Kukirimkan pesan pada suamiku, memberikan informasi itu. Besok pagi saja jemputnya, sebab aku tidak jadi terbang malam ini.
Dan…
Setelah itu, kutimbang- timbang, apa yang akan kulakukan di Changi.
Pramugari darat yang tadi memberikan voucher kepadaku mengatakan aku bisa makan malam dulu sebelum masuk ke dalam hotel. Tapi aku tidak lapar. Aku sudah makan di pesawat. Tapi, aku juga segan langsung check in ke hotel transit itu...
***
Hotel transit, mungkin sesuai dengan tujuannya, suasananya agak berbeda dengan hotel biasa.
Lorong di muka kamarnya agak sempit, kamar- kamarnya juga relatif tidak terlalu besar ukurannya, dan lorong serta kamar itu agak temaram lampunya—mungkin sengaja agar orang bisa segera bisa tidur dan beristirahat.
Yang aku masih selalu merasa agak ‘aneh’ adalah bahwa untuk menuju ke kamar kita di hotel transit, tidak seperti kalau di hotel biasa dimana dari tempat resepsionis di lobby yang luas kita kemudian menuju lift untuk kemudian menuju kamar, di hotel transit ini untuk menuju kamar biasanya ada pintu tertutup di dekat resepsionis. Kita harus memasuki pintu tertutup itu, dan.. dibalik tembok dan satu pintu sempit itulah ternyata ada kamar berderet- deret.
Aku selalu merasa seperti “dimasukkan ke dalam kotak”, saat masuk ke hotel transit di airport ini. He he.