“ Ya? “ aku menoleh.
“ Nanti tanggal 1, saya mau ambil uang saya semua… “
“ Oh iya, “ jawabku, “ Boleh saja. Mau dikirim ke rumah ? “
Aku sudah paham kebiasaan mereka.
Para asisten rumah tangga ini hemat. Uang gajinya tiap bulan biasanya tidak mereka ambil, tapi dititipkan saja padaku. “ Nanti saja diambil pas lebaran, “ begitu biasanya mereka berkata. Mereka hanya mengambil sedikit saja dari gajinya itu untuk pegangan mereka. Sisanya, sebagian besar, hampir utuh, dititipkan padaku.
Tapi aku juga tahu, biasanya uang yang dititip itu tak pernah benar- benar utuh “sampai lebaran” itu. Selalu ada saja selang sekian bulan, mereka menerima telepon dari kampungnya, dan di saat- saat seperti itu, mereka akan mengambil uang yang dititipkannya padaku untuk dikirimkan ke kampung.
“ Mau sekarang atau nanti tunggu tanggal 1 ? “ tanyaku pada asisten rumah tanggaku di dapur tadi pagi. “ Kalau mau sekarang juga boleh. “
Masih pagi tadi, kantor pos masih buka, maka kutawarkan hal itu.
Aku paham. Saat bicara “mau ambil uang, buat dikirim ke rumah”, yang akan perlu aku atau suamiku lakukan bukan hanya memberikan uang itu pada asisten rumah tangga kami tapi juga membawa uang tersebut ke kantor pos dan mengirimkan atas nama mereka ke keluarganya di rumah.
Pengiriman uang melalui kantor pos sudah cepat sekarang. Dikirimkan saat ini dari kota dimana kami tinggal, PIN diberikan, lalu kami akan menghubungi keluarga asisten rumah tangga kami itu di kampung, untuk memberi tahu mereka PIN tersebut dan meminta mereka berangkat ke kantor pos terdekat untuk mengambil uangnya.
Tak ada yang baru dengan itu. Hal tersebut sudah biasa dilakukan.