Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibu Bekerja vs Ibu Tidak Bekerja, Perdebatan yang Tak Pernah Usai (1)

22 Oktober 2015   19:04 Diperbarui: 22 Oktober 2015   21:37 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentang ibu bekerja, atau tidak bekerja, memang merupakan perdebatan yang tak pernah usai.

HAL ini sepertinya selalu menarik untuk dibahas, bahkan dipertentangkan walaupun menurutku sendiri, sebetulnya tak perlu sama sekali pertentangan itu.

Sebab buatku sendiri, ibu bekerja atau tidak bekerja itu merupakan pilihan yang ada

Masing- masing bisa dan boleh memilih sesuai keinginan dan kebutuhannya sendiri. Dan sesuai kesepakatannya dengan suami.
Sepanjang itu merupakan pilihan sendiri, disepakati pula dengan suami, dan juga – ini salah satu yang terpenting – sang ibu sendiri (baik dia bekerja atau tidak bekerja) menjalaninya dengan bahagia dan senang hati, tak lagi ada masalah, bukan?

Eh, kenapa aku tiba- tiba menulis topik ini?

Oh, sebab kebetulan saja pagi tadi aku melihat status di facebook yang terus terang saja membuatku tersenyum.

Isinya kira- kira mengatakan bahwa perempuan memang perlu bersekolah tinggi, agar ilmu yang didapatkannya kelak bisa digunakannya untuk mendidik anak- anaknya. Tapi, ya itu ‘hanya’ untuk mendidik anak- anaknya. Jangan sampai sekolah tinggi lalu dilanjut dengan keinginan untuk bekerja, dan anak- anak diserahkan pada pengasuh yang lulusan SD atau SMP.

Masih ada lanjutan dalam status facebook tersebut setelah kalimat itu, yakni: kalau yang terjadi seperti ini, jangan salahkan guru lho yaaa…

Hmmm…

Aku senyum- senyum saja membaca status itu.

Entahlah, mungkin status itu dibuat setelah sang pemilik facebook menemukan kasus dimana ada anak dengan prestasi di sekolah yang kurang memuaskan dan kebetulan ibunya adalah ibu bekerja sehingga sang ibu lalu (dianggap) perlu dipersalahkan ?

Seperti kukatakan, bagiku sendiri, tak ada yang lebih baik satu sama lain dari pilihan ibu bekerja atau tidak bekerja. Bagiku, sepanjang ibu tersebut bahagia dan kebahagiaan itu pada ujungnya lalu berdampak positif pada kehidupan keluarganya, suami dan anak- anaknya… apa yang salah?

Memang sih, tak kupungkiri, bahkan sampai jaman begini, hari gini, masih banyak tudingan miring pada ibu bekerja. Hal yang bagiku juga, sebagai salah satu ibu bekerja, tak lagi terasa mengganggu. Walau kadang- kadang, sering terasa menggelitik juga, ha ha.

Menurutku… menurutku lho yaaa.. pertentangan tentang ibu bekerja atau tidak bekerja ini banyak muncul sebab sepertinya oleh sebagian orang yang masih senang mempertentangkan hal ini, seringkali entah bagaimana, setelah seorang perempuan menikah, seakan- akan seluruh ‘hak pribadi’-nya hilang.

Perempuan tak lagi boleh memiliki keinginan untuk diri sendiri. Dalam hal ini, bekerja, misalnya, sering dianggap sebagai ‘keinginan diri sendiri’ yang lalu dianggap mengurangi kualitas dan ‘pengabdiannya’ sebagai seorang istri dan ibu. Lalu juga dianggap, ibu bekerja itu adalah istri yang ‘nggak ngurus suami’, dan juga ‘ibu yang nggak ngurus anak’.

Dan lalu… jika anaknya kurang berprestasi atau ada masalah dengan perilaku, tudingan dengan segera tertuju pada ibunya. “Ibunya kerja sih, anaknya jadi begitu, soalnya nggak keurus.. “

Tapi yang lucu, sebaliknya, jarang ya jika anak- anaknya berprestasi, tumbuh baik dan santun, ada komentar “ Ibunya kerja sih, anaknya jadi begitu.. “ Ha ha.

( Lha padahal, bagaimana anak itu bisa tumbuh baik dan berprestasi jika “nggak keurus” atau “nggak diurus” seperti yang sering ditudingkan orang? )

***

Mari kita mengobrol sedikit.

Aku ini ibu bekerja. Dan soal bekerja atau tidak bekerja itu, sudah selesai diputuskan sebelum aku menikah. Ketika itu, ketika kami dan (calon) suamiku sudah mulai membicarakan tentang pernikahan, salah satu pertanyaan yang kuajukan padanya adalah tentang bagaimana harapannya tentang kegiatanku setelah menikah nanti, apakah aku bisa terus bekerja atau harus berhenti dari pekerjaanku.

Percakapan yang (untunglah) berlalu dengan sangat ringan dan mudah, tanpa perdebatan sama sekali. Percakapan yang kesimpulannya adalah kami berdua sepakat bahwa aku akan bisa terus bekerja setelah menikah.

Dan begitulah yang terjadi.

Aku tetap bekerja, dan terus bekerja setelah pernikahan kami. Termasuk ketika bayi- bayi mungil lalu hadir dalam keluarga kami. Sepanjang pernikahan kami, aku tak pernah berhenti bekerja kecuali jeda jeda pendek dalam hitungan minggu atau bulan yang sengaja kuambil untuk mendapatkan istirahat ketika hendak pindah dari dari satu perusahaan ke perusahaan lain.

Mudahkah menjalaninya? Atau sulit?

Aku tidak bisa bilang itu mudah atau sulit. Bagiku sih, semua hal itu terintegrasi. Mudah atau sulit itu tergantung bagaimana kita menanganinya. Kasarannya, pinter- pinter ngatur aja deh…

***

Hari ini, aku mengambil cuti sehari.

Dengan senang hati, kulihat binar di mata anak bungsuku sejak bangun pagi tadi. Aku tahu, dia gembira sekali. 

Ini hari ulang tahunnya. Dan sudah sejak beberapa waktu yang lalu, kujanjikan padanya bahwa aku akan cuti hari ini, dan mengajaknya keluar makan siang.

Keputusan yang kuambil sebab kondisi hari ulang tahunnya ini sebetulnya tidak ideal. Si bungsu sendiri sedang libur seusai ulangan tengah semester hari ini. Tapi kami tak bisa berkumpul bersama seluruh keluarga di hari ulang tahunnya kali ini.

Apa boleh buat.

Kakak- kakaknya, kuliah di luar kota. Ayahnya, saat ini sedang sibuk sekali sebab disamping tak bisa cuti sebab pekerjaan kantornya, ayahnya ini juga sedang mengejar tenggat waktu penyelesaian disertasi Doktoralnya. Maka, agar hari istimewa ini tetap terasa istimewa bagi si bungsu, akulah yang akan membawanya keluar makan siang untuk menyenangkan hatinya.

Binar dimata anakku juga tampak, dan dia memelukku dengan rasa sayang yang nyata ketika kukatakan padanya bahwa kemarin atasanku di kantor regional sebetulnya meminta aku untuk membatalkan cutiku hari ini sebab ada suatu hal yang penting untuk dikerjakan di kantor. Aku mempertimbangkan permintaan itu tapi setelah melihat keseluruhan situasi kukatakan pada atasanku bahwa aku akan tetap mengambil cuti sehari sebab aku telah berjanji untuk melewatkan hari ini untuk bersenang- senang dengan si bungsu di hari ulang tahunnya. Dan itu penting bagiku. Pekerjaan di kantor, menurut perhitunganku, tetap bisa diatasi. Ada beberapa manager di bawahku yang akan bisa menangani hal tersebut hari ini.

Walaupun, untuk menyeimbangkan, kukatakan pada anakku bahwa siang ini, sebelum kami berdua, aku dan dia, makan siang untuk merayakan ulang tahunnya, kami akan perlu mampir ke kantorku dulu sebentar. Sebab aku perlu memastikan bahwa semua berjalan baik di kantor.

Anakku setuju. Maka begitulah, bocah pra remaja itu hari ini turut denganku mampir sebentar ke kantor, sebelum kami kemudian bersenang- senang makan enak. He he.

Ini bagian dari 'pinter- pinter ngatur aja' itu. Dan, ada banyak saat seperti itu yang pernah kujalani...

p.s. Bersambung ke bagian 2 disini: http://www.kompasiana.com/rumahkayu/ibu-bekerja-vs-ibu-tidak-bekerja-perdebatan-yang-tak-pernah-usai-2_5628e627569373fc1a0ddee0

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun