Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

14 Oktober, Dan Cinta yang Selalu Ada

14 Oktober 2015   08:06 Diperbarui: 18 Oktober 2015   23:49 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagiku, Oktober selalu membawa aroma cinta..

Dan banyak kenangan.

Kebaya putih.

Masjid, dan kembang bungur yang bermekaran di sekitarnya.

Dua hati bertaut, dan disyahkan dalam ikatan pernikahan di bulan Oktober itu.

***

Oktober, selalu menjadi bulan yang istimewa.

Termasuk, Oktober tahun lalu, ketika berbilang banyak tahun setelah kami menikah, akhirnya kami bisa pergi hanya berdua saja. Berdua saja. Ke tempat suci, untuk berhaji.

Perkenalan kami singkat sebelum menikah. Saat itu, dia yang di kemudian hari menjadi suamiku, sedang menyelesaikan tugas akhir S2-nya di Australia. Begitu saja, dalam waktu yang singkat, kami saling jatuh cinta.

Lalu, begitulah, tak lama setelah diselesaikannya kuliah pasca sarjana itu, dia kembali ke tanah air dan melamarku untuk menjadi istrinya.

Tak terlalu banyak waktu untuk mempersiapkan ini-itu, baik sebelum maupun setelah pernikahan.

Cuti yang diambil dari pekerjaanpun bahkan semata cukup untuk mempersiapkan hari-H, dan setelah itu, pindah ke rumah kontrakan.

Rumah kontrakan ini bahkan diperoleh at the last minute.

Kami bahkan tadinya tenang- tenang saja dengan pemikiran 'yang penting nikah dulu aja deh' dan setelah itu baru urusan lain akan dilakukan. Termasuk mencari tempat tinggal.

Jadi kami pikir, setelah menikah tak apa dia kembali ke tempat kostnya dan aku kembali ke tempat kostku dulu -- kami berdua bekerja di kota yang berbeda dengan kota dimana orang tua kami berada, sehingga kami tinggal di tempat kost.

Hanya saja, Bapak dan ibu kost-ku yang mendengar rencana itu menganggap hal tersebut solusi yang 'aneh'. Beliau berdua, ibu dan bapak kost sepuh yang baik hati itu, berpendapat seharusnya ada cara yang lebih baik daripada suami istri pengantin baru pulang ke rumah kost yang berbeda dan bahkan agak berjauhan letaknya setelah pernikahan.

Maka ibu dan bapak kost-ku menawarkan sebuah kamar yang lebih besar di rumah mereka untuk kami tempati seusai pernikahan. Kamar itu sebetulnya bukan termasuk kamar yang disewakan pada penghuni kost. Itu kamar di lantai bawah yang diperuntukkan khusus untuk keluarga sementara kamar- kamar yang disewakan hanya yang berada di lantai atas.

" Pakai saja kamar besar itu, " kata Bapak dan ibu kostku, " Tak perlu tambah bayarnya, bayar jumlah yang biasa saja. Pakai saja sampai sudah dapat rumah untuk tempat tinggal nanti."

Duh. Alih- alih senang, kami malah sungkan. Sungguh kami tak enak hati jika harus merepotkan serupa itu.

Maka begitulah, kami tergesa mencari rumah yang bisa dikontrak. Yang akhirnya kami dapatkan tanpa sengaja, ketika seorang kawan yang sudah memiliki rumah belum menggunakan rumahnya itu sebab mereka berencana untuk tinggal di rumah orang tua mereka dulu sambil menanti kelahiran bayi.

Maka rumah itulah yang kami kontrak.

Dan dengan begitu kami bisa mengucapkan terimakasih seraya menolak tawaran bapak dan ibu kostku untuk menggunakan dulu kamar yang lebih besar di rumah mereka seusai pernikahan kami.

Tak cukup waktu kami untuk pergi berdua berbulan madu setelah pernikahan kami itu sebab kami harus mengurus kepindahan kami ke rumah kontrakan, lalu kembali ke kantor.

Perjalanan bulan madu itu tak pernah terjadi. Hari- hari pertama setelah pernikahan, kami kembali disibukkan dengan urusan kantor, ditambah lagi, tak lama setelah itu aku mengandung anakku yang pertama. Tak mungkin bepergian dalam keadaan mengandung seperti itu.

Lalu, anak pertama kami lahir. Si mungil yang cantik itu, kemudian setelah masa cuti hamilku habis ternyata terpaksa kami titipkan dulu sementara pada orang tuaku di kota kelahiran untuk memastikan bahwa tak ada efek samping dari imunisasi yang diperolehnya, setelah dia ternyata menunjukkan reaksi yang sangat sensitif terhadap imunisasi pertamanya.

Berjauhan dengan bayi yang kulahirkan sementara dalam hati aku sudah bertekad untuk memberikan ASI, menjadi cerita tersendiri.

Di akhir minggu, aku pulang ke rumah orang tuaku dimana bayiku berada, di kota yang berlainan dengan tempat kami tinggal. Di tengah minggu, ada satu hari dimana pulang kantor aku langsung menuju stasiun untuk menuju ke kota dimana bayi dan orang tuaku tinggal lalu keesokan harinya kembali naik kereta selama tiga jam untuk kembali ke kota tempatku bekerja, demi agar bisa memberi ASI pada bayiku.

Diluar itu, aku juga menampung ASI-ku, membekukannya dan asisten rumah tangga kami dua hari sekali membawa termos es berisi berbotol-botol ASI beku dari kota dimana kami tinggal ke kota dimana bayi kami berada, yang jaraknya hampir 200 KM.

Anak sulung kami ini kemudian akhirnya tinggal kembali bersama kami saat dia hampir berusia dua tahun. Syukurlah, saat itu kami sudah memiliki rumah sendiri, tak lagi menempati rumah kontrakan.

Lalu, dua anak lagi setelah itu hadir dalam pernikahan kami.

Dengan tiga anak yang harus dibesarkan, tak banyak waktu tersisa untuk pergi berdua-duaan saja. Apalagi, kami juga memang tak pernah tega melakukannya.

Jangankan pergi berdua sekedar untuk jalan-jalan, bahkan jika salah satu dari kami harus bepergian keluar kota atau keluar negeri untuk urusan pekerjaanpun, kami biasanya mencoba mengatur jadwal agar yang satu lagi tak bepergian pada saat yang sama, agar salah satu dari kami akan berada di rumah bersama anak- anak jika salah satu sedang bepergian.

Sampai tahun lalu... Ketika giliran kami untuk berhaji tiba..

Sampai saat itu. Ketika kami berangkat berdua saja, hampir sebulan lamanya, di rentang waktu antara September hingga Oktober.

Tahun lalu, ketika kami berada di Tanah Suci, ketika setiap hari, tangan kami saling bertaut saat kami berjalan kaki menuju masjid untuk beribadah. Ketika kami, juga berdua, thawaf mengelilingi Ka'bah. Ketika kami, duduk berdekatan, melantunkan doa- doa kami di Padang Arafah.

Kami tak sempat berbulan madu, dulu, saat kami baru saja menikah, tapi sekian tahun kemudian setelah penikahan kami, kami bermiliki begitu banyak waktu yang kami lewatkan berdua saja di Tanah Suci.  Hal yang sangat menggetarkan, dan dalam artinya bagi kami.

Berdua, kami ada di tempat dimana kami tahu kami sangat kecil... kecil.. kecil... Di tempat dimana kami tahu, hanya kepasrahan dan keikhlasan saja yang bisa membantu kami menjalani semuanya dengan baik. Tempat dimana kami saling menjaga satu sama lain.

Dan itu, waktu yang kami jalani bersama berdua di Tanah Suci tahun lalu itu, terjadi menjelang ulang tahun pernikahan kami di bulan Oktober. Sungguh, bagiku, hal tersebut tampak seperti hadiah ulang tahun pernikahan yang sangat berharga. Walau sejujurnya, bukan hanya saat itu, tapi setiap hari sepanjang banyak tahun pernikahan kami juga senantiasa seperti hadiah bagiku.

***

Oktober, selalu membawa aroma cinta bagiku.

Hari ini, 14 Oktober, adalah hari ulang tahun pernikahan kami.

Hari yang menandai suatu awal perjalanan panjang. Bagiku, bagi dia, lelaki yang menjadi suamiku itu. Bagi keluarga yang kami bentuk setelah itu.

Tak putus aku bersyukur sebab, sejak 14 Oktober saat akad nikah itu diucapkan dulu, hingga 14 Oktober hari ini, aroma cinta itu masih ada...

Masih kuat.

Dan semoga akan terus ada, dan semakin kuat. Hingga 14 Oktober tahun berikutnya, tahun berikutnya lagi, berikutnya lagi.. Lagi. Lagi.. dan lagi...

Terus. Senantiasa.

( Terimakasih, ya Allah, untuk tahun- tahun bahagia yang Engkau karuniakan pada kami... Terimakasih untuk telah memilihkan seorang lelaki sangat baik untuk menjadi suamiku, terimakasih untuk mengkaruniakan anak- anak sehat dan cerdas bagi kami. Terimakasih untuk limpahan berkah yang mengalir tanpa putus bagi kami. Lindungi perjalanan kami selalu, ya Allah, Sang Pemilik Cinta... )

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun