Â
Mina, 2014
GELOMBANG manusia lewat di depan tenda kami.
Tujuannya sama, menyelesaikan rangkaian ibadah haji dengan melempar jumroh. Kelompok, demi kelompok melangkah satu-satu. Melengkapi asa, setelah berjalan begitu jauh. Beberapa langkah lagi, tempat yang dituju akan bisa dicapai.
Air mataku bercucuran.
Telah kudengar dan kulihat cukup banyak, hal- hal yang tak terbayangkan sebelumnya akan kulihat.
Di Masjidil Haram, di masa pra-puncak haji, jam berapapun aku kesana, bisa kulihat ada orang yang tidur bergeletakan. Di selasaran, di tepi jembatan. Dimana- mana.
Duh.. betapa demi rasa cinta pada dia Sang Pencipta, orang- orang itu rela melakukan semua itu.
Pertama kali tiba di Mina, sebelum hari Arafah, telah kulihat hal- hal itu. Dengan beratap tutup kain seadanya, orang- orang tidur bergeletakan di tepi jalan.
Di sela rasa syukur dan gembiraku melihat betapa dekatnya tenda kami dengan tempat melempar jumroh, dan nyamannya tenda kami, hatiku nyeri melihat semua itu.
" Terus, boleh kan... Boleh kan? " tanyaku, begitu berharap.
Percayalah, tenda bagus dengan AC yang terus mengeluarkan udara dingin, kasur tebal yang nyaman yang tersedia di dalam tenda, sungguh akan terasa berkurang nyamannya jika kita melihat orang lain yang juga datang hendak beribadah, sama seperti kita, ternyata bahkan tak punya tempat berteduh.
" Iya, " kata suamiku, " Katanya boleh. "
Aku menarik nafas lega.
***
Kami melempar jumroh yang pertama di hari itu.
Lalu malam menjelang, dan malam itu, kudengar banyak cerita. Tentang para jamaah yang memilih untuk tak kembali ke tenda mereka malam itu, dan juga nanti semalam setelahnya. Karena tendanya terlalu jauh untuk ditempuh pulang pergi dalam tiga hari berturut- turut. Maka, mereka memilih untuk tidur 'menggelandang' saja di sekitar tempat melempar jumroh.
Duh.
Lalu, makannya bagaimana?
Kalau perlu ke kamar mandi, bagaimana ?
Ya Allah... Ya Allah... Betapa aku bersyukur dan berterimakasih untuk semua kemudahan yang diberikan itu. Namun tak berarti, hatiku tak tersayat. Bayangan orang- orang yang tendanya terlalu jauh untuk ditempuh pulang pergi itu terus memenuhi pikiranku.
Dan pagi itu, sehari setelah Idul Adha, aku berdiri di jalan di depan tendaku, tergugu...
Sungguh tak tahu apa yang harus dan bisa kulakukan.
Sampai kemudian kusadari, banyak dari mereka yang lewat itu jalan melenggang kaki. Benar- benar 'cuma bawa badan aja', tak ada apapun lagi.
Oh.. barangkali ternyata, ada juga yang bisa kulakukan, pikirku.
Aku berlari masuk ke kompleks deretan tendaku.
Walau kusadari sepenuhnya, apa yang akan kulakukan itu seperti menggarami lautan. Tak akan terlalu banyak berarti. Tak akan terasa. Diantara jutaan manusia yang datang bergelombang menuju tempat jumroh itu, apa yang kuniatkan akan kulakukan sungguh akan seperti setitik debu.
Tapi paling tidak, kulakukan sesuatu, pikirku. Tak mungkin berdiam diri saja.
Kucari kantong plastik, dan kemudian kupenuhi kantong plastik itu dengan berbotol- botol air dan juice buah.
Di tenda kami, air melimpah, juice buah dalam berbagai rasa tak pernah kurang. Kami boleh mengambilnya sebanyak yang kami mau dari kulkas, setiap saat.
Lalu dengan kantong penuh botol air dan juice buah itu, aku kembali berdiri di pinggir jalan, di muka tenda. Kuulurkan air dan juice buah itu pada siapapun yang lewat dan mau menerimanya. Berharap bahwa hal tersebut akan membantu membasahi kerongkongan mereka setelah berjalan jauh.
Tak kupilih siapa yang kusodori air itu. Tak kulihat apa bangsanya, apa warna kulitnya. Jika dia berjalan melenggang tanpa membawa bekal apapun, kusodorkan saja air dan juice itu bahkan tanpa bicara.
Tapi melihat apa yang terjadi tadi pagi, kubawa air dan juice jauh lebih banyak dari apa yang kubutuhkan sendiri. Lalu, kembali dalam perjalanan menuju tempat melempar jumroh dan dalam perjalanan pulang, kuulurkan air dan juice itu pada siapapun yang kebetulan kutemui.
Biarlah seperti menggarami lautan. Biarlah tak seberapa berarti. Biar pulalah itu tak sebanding jumlahnya dengan begitu banyak jamaah. Sebab aku sungguh tak sanggup berdiam diri saja, maka kuturuti apa yang diperintahkan hatiku untuk dilakukan...
Tulisan sebelumnya:Â http://www.kompasiana.com/rumahkayu/mina-di-jalan-depan-tendaku-1_5605f0561f23bdae048b4568
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H