Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mina, di Jalan Depan Tendaku (1)

26 September 2015   08:09 Diperbarui: 27 September 2015   20:13 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mina, 2014

AKU terhuyung. Limbung.

Tergeragap. Tak tahu harus dan hendak berbuat apa.

Segenap kesadaranku terhantam.

Dan aku berdiri di situ, di tepi jalan. Tergugu...

***

Suatu pagi di Mina, sehari setelah Idul Adha 2014.

" Mau ke depan, D, ke jalan? " suamiku mengajakku.

Aku mengangguk.

Suamiku menggandengku, berjalan beberapa langkah menuju pintu pagar di depan deretan tenda kami dan kemudian turun ke jalan aspal di depannya.

Segera kutangkap pemandangan itu. Tak perlu waktu lama, dalam hitungan detik, air mata bercucuran membasahi mukaku. Turun tak terkendali.

Kugenggam erat tangan suamiku, mencari kekuatan dari situ. Dia, berdiri di sampingku, tak banyak bicara. Hanya satu kalimat yang dikatakannya, " Saya sudah kesini dari tadi, lihat ini. "

Itu saja.

Gelombang manusia lewat di depan kami. Semua dengan tujuan sama, melempar jumroh.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Lailaha illallahu wallahu Akbar. Allahu Akbar Walillahilham, perlahan aku melantunkan suara takbir di mulutku, sementara air mata terus mengalir turun.

Sungguh, kata- kata tak akan cukup untuk menggambarkan bagaimana suasana yang tertangkap indraku pagi itu menyergap seluruh kesadaranku, menyentuh hatiku, dan pada akhirnya membuat air mata mengalir deras.

Ya Allah... Ya Allah... pikirku. Lihatlah mereka, lihatlah begitu banyak orang sepagi ini yang sudah berjalan sejauh itu, untuk melempar jumroh. Lihatlah orang berbagai bangsa, berbagai usia, dengan berbagai kondisi berjalan menuju satu arah, melengkapi ritual ibadah haji yang sedang dilakukan.

Aku malu.. Malu.. Malu...

Apa yang kulihat di Mina pagi itu, melengkapi begitu banyak hal yang kulihat selama perjalanan ibadah haji.

Dan aku merasa begitu kecil. Kecil. Dan dangkal.

Ya Allah... Ya Allah...

Air mataku terus mengalir.

Suara suamiku terdengar lagi. " Kalau hitung- hitungan pahala, mereka itu yang dapat pahalanya jauh lebih besar dari kita, ya, D ? "

Aku tak sanggung menjawab. Aku pahami apa yang dikatakan suamiku. Jika aku saja tersergap perasaan malu dan terasa dangkal seperti ini, apalagi dia yang sangat halus hati itu.

Orang- orang itu, berjalan menuju tempat melempar jumroh. Mereka datang dengan tujuan yang sama dengan kami. Beribadah, menjalankan perintah Sang Pemilik Hidup. Dan mereka menempuh jarak yang jauh dengan berjalan kaki untuk mencapai tempat itu.

Sementara kami, tenda kami adalah salah satu dari deretan tenda terdekat dari tempat melempar jumroh.

Jika kami keluar dari pagar yang membatasi tenda dengan jalan, dengan segera tempat melempar jumroh itu akan langsung bisa terlihat...


***

Sudah kulihat semua itu, telah kutangkap kesan itu, bahkan pada hari- hari pertama kami tiba di Mekah.

Telah kurasakan betapa rasa tak enak hati itu menyelinap sedikit demi sedikit. Mengorek- ngorek berbagai rasa di dalam dadaku.

Aku bersyukur, sungguh. Dan sangat berterimakasih. Dia sang Maha Cinta memberikan rejeki cukup kepada kami, kepada aku dan suamiku sehingga kami bisa mendaftarkan diri berangkat haji dengan ONH Plus.

Fasilitas yang kami dapatkan, sungguh membantu banyak.

Di Mekah, hotel kami terletak tepat di tepi pelataran Masjidil Haram. Aku, senang- senang saja mulanya. Letak yang dekat itu, sangat membantu. Untuk menuju Masjidil Haram dan kembai ke hotel, kami tinggal berjalan kaki saja. Turun dengan lift ke bawah, kami langsung tiba di pelataran masjid. Menyeberang sebentar, tibalah kami di pintu Masjidil Haram.

Perasaan senang itu mulai terusik ketika pada suatu hari kami, aku dan suamiku, mencoba naik bus yang disediakan pemerintah Indonesia untuk para jemaah haji reguler, sebab kami ingin mengunjungi kerabat yang juga sedang menunaikan ibadah haji di pondokannya. Dia sendiri, saat bertemu kami sebelumnya, dengan gembira mengatakan bahwa transport ke pondokannya mudah, ada banyak. Pondokannya tidak jauh, katanya. Naik bus-nya dari terminal di belakang Masjidil Haram.

Mudah-tidak jauh-dari terminal yang ada di belakang Masjidil Haram itu, ketika kujalani di siang yang terik sebetulnya ternyata tidak semudah itu.

Panas yang menyengat ubun- ubun, membuat yang "dekat koq" itu menjadi sesuatu yang harus ditempuh dengan energi yang cukup besar.

Pondokannya bagus, bersih dan manusiawi. Ada tujuh orang di dalam kamar kerabat kami itu. Suamiku masuk ke dalam kamar kerabat yang laki- laki, aku ke dalam kamar kerabat yang perempuan.

Dan aku disambut dengan ramah. Ditawari makanan ini itu. Ada kamar mandi mungil dan pantry kecil di seberang deretan tempat tidur. Maka mereka bisa memasak.

" Mau mie ya, mau? " salah satu dari ibu- ibu di situ menawarkan padaku.

Aku menggeleng tertawa. Tidak, terimakasih, kataku, aku sudah makan.

" Kue ya, mau kue ? "

Aku tertawa lagi menggeleng. Tidak, terimakasih.

" Apel saja ya, mau ya ? Atau pisang? "

Akhirnya kuterima tawaran itu. Kuterima apel yang diulurkan padaku.

Kamar itu manusiawi. Tapi penuh. Diisi oleh tujuh orang yang tadinya tak saling mengenal, dengan beragam wataknya.

Mereka gembira dan tampak ringan hati. Hal yang membuatku senang melihatnya.

Tapi hatiku mulai seperti dikilik- kilik.. Lihat D, lihat... betapa ringan hatinya mereka berbagi seperti itu.

Lalu kubayangkan kamarku sendiri. Luas, dengan dua tempat tidur lebar- lebar, dan meja makan, dan kamar mandi yang besar. Kutempati berdua saja dengan suamiku.

Aku bersyukur untuk semua itu. Tapi, rasa malu itu mulai menyeruak ke dalam hati...

(bersambung ke http://www.kompasiana.com/rumahkayu/mina-di-jalan-depan-tendaku-2_5607eb3f5397732f0ad9126f )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun