Di Mekah, hotel kami terletak tepat di tepi pelataran Masjidil Haram. Aku, senang- senang saja mulanya. Letak yang dekat itu, sangat membantu. Untuk menuju Masjidil Haram dan kembai ke hotel, kami tinggal berjalan kaki saja. Turun dengan lift ke bawah, kami langsung tiba di pelataran masjid. Menyeberang sebentar, tibalah kami di pintu Masjidil Haram.
Perasaan senang itu mulai terusik ketika pada suatu hari kami, aku dan suamiku, mencoba naik bus yang disediakan pemerintah Indonesia untuk para jemaah haji reguler, sebab kami ingin mengunjungi kerabat yang juga sedang menunaikan ibadah haji di pondokannya. Dia sendiri, saat bertemu kami sebelumnya, dengan gembira mengatakan bahwa transport ke pondokannya mudah, ada banyak. Pondokannya tidak jauh, katanya. Naik bus-nya dari terminal di belakang Masjidil Haram.
Mudah-tidak jauh-dari terminal yang ada di belakang Masjidil Haram itu, ketika kujalani di siang yang terik sebetulnya ternyata tidak semudah itu.
Panas yang menyengat ubun- ubun, membuat yang "dekat koq" itu menjadi sesuatu yang harus ditempuh dengan energi yang cukup besar.
Dan aku disambut dengan ramah. Ditawari makanan ini itu. Ada kamar mandi mungil dan pantry kecil di seberang deretan tempat tidur. Maka mereka bisa memasak.
" Mau mie ya, mau? " salah satu dari ibu- ibu di situ menawarkan padaku.
Aku menggeleng tertawa. Tidak, terimakasih, kataku, aku sudah makan.
" Kue ya, mau kue ? "
Aku tertawa lagi menggeleng. Tidak, terimakasih.
" Apel saja ya, mau ya ? Atau pisang? "