Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Musibah di Tanah Suci ( A True Story )

12 September 2015   10:50 Diperbarui: 12 September 2015   16:41 2416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun...

AKU bangun pagi ini dan membaca yang mengagetkan tentang jatuhnya crane di Masjidil Haram. Ada beberapa foto yang menunjukkan situasi dan korban yang berjatuhan.

Duh, sedihnya.

Beberapa hari terakhir ini, aku sudah melihat beberapa berita, gambar dan video tentang situasi di Tanah Suci pada musim haji kali ini. Tentang badai pasir yang terjadi di Jeddah, yang menyebabkan beberapa penerbangan terganggu. Lalu kemarin sore, aku juga melihat berita tentang hujan es dan angin besar yang melanda Mekah. Dan pagi ini, kubaca tentang crane yang jatuh itu.
Dan sungguh aku tak bisa berkomentar banyak.

Manusiawi, kita semua mengharapkan keselamatan. Saat mengantarkan orang yang hendak berangkat berhaji, doa kita adalah agar seluruh rangkaian ibadah itu dilancarkan. Diberi keselamatan sejak berangkat, selama di Tanah Suci, hingga kembali ke Tanah Air. Namun apa yang terjadi, crane jatuh di Masjidil Haram karena angin besar disana, ini tentu diluar rencana, diluar dugaan akan terjadi. Dan kita hanya bisa mengatakan bahwa kita mengupayakan apa yang bisa diupayakan, tapi jika suatu saat Sang Pemilik Hidup menghendaki hal yang lain yang terjadi, maka terjadilah hal itu.

Masjidil Haram di musim haji seperti ini, tentulah sangat padat. Siapa yang bisa menduga akan duduk dimana saat kejadian ini terjadi? Sebab bahkan mendapatkan tempat untuk menggelar satu sajadah saja menjelang jam- jam shalat, sangat sulit.

Melihat berita musibah ini, aku teringat pada hal yang kami alami saat musim haji tahun lalu. Hal yang juga tak terduga, dan tak diharapkan, tentu saja.

Kami memulai rangkaian perjalanan ibadah kami tahun lalu dengan mendarat di Madinah. Maka tak ada perjalanan darat yang jauh. Begitu pesawat mendarat, kami dibawa dengan bus ke hotel yang letaknya sepelemparan batu dari Masjid Nabawi, dan kami memulai hari itu dengan shalat subuh di Masjid Nabawi, masjid yang dibangun oleh Rasulullah, dimana makamnya juga berada.
Beberapa hari di Madinah, kami kemudian menuju Mekah, dimana Masjidil Haram dan Ka'bah berada.

Jarak antara kedua kota itu sekitar 450 KM, dan ditempuh dengan menggunakan bus.

Tak ada masalah dengan bus-nya. Busnya sendiri bagus, baru, bersih, dengan AC yang mengalirkan udara dingin yang sangat membantu kami ditengah teriknya panas matahari diluar.

Tapi...

***

Sejak sehari sebelumnya, kami sudah diwanti- wanti untuk turun berkumpul di lobby hotel tepat waktu dan di titik yang sudah disepakati.

Mobilisasi jamaah haji dari Madinah ke Mekah mencapai puncaknya saat itu. Sudah dikatakan pada kami bahwa pada hari kami berangkat itu, akan banyak pula rombongan lain yang berangkat. Dari berbagai negara. Maka pastikan kami siap agar perjalanan lancar.

Dan begitulah... benar begitu suasananya.

Lobby hotel yang walau biasanya juga ramai, saat itu bukan ramai lagi kata yang cukup tepat untuk menggambarkan, tapi padat dan hiruk pikuk. Berbagai kelompok jamaah haji dengan pakaian ihram dan tas- tas tentengan dan koper kecil berdiri menanti keberangkatan di lobby hotel. Koper besar, sudah sejak malam sebelumnya diminta disiapkan di depan kamar masing- masing untuk kemudian dikumpulkan dan diorganisir oleh para petugas untuk nanti akan dibagikan kembali pada kami saat telah tiba di Mekah.

Dan jalan di depan hotel.. nyaris tak ada tempat kosong. Bus- bus berderet- deret dengan kerapatan luar biasa, membuat orang yang berjalan kaki atau hendak masuk ke dalam bus harus memiring- miringkan badan agar bisa menyelipkan diri diantara celah- celah kecil antar bus itu.

Rombongan kami dipanggil untuk memasuki bus tepat waktu. Anggota rombongan dalam dua bus yang mengangkut kami dihitung jumlahnya. Pas. Kami lihat supir bus dan para petugas yang mengurus perjalanan haji kami membicarakan sesuatu dengan petugas setempat dari Arab Saudi terlibat pembicaraan agak panjang sebelum akhirnya bus kami diberangkatkan.

Aku tak paham bahasa Arab, jadi tak tahu apa yang mereka bicarakan tapi kemudian di dalam bus kami diberitahu bahwa surat ijin yang diperlukan agar kami bisa berangkat saat itu belum diperoleh tapi untuk menghindari kepadatan antrian bus di depan hotel, kami diminta berangkat saja dan surat ijin tersebut akan diberikan di satu titik jalan di dalam kota Madinah yang akan kami lalui nanti.

Deal.

Berangkatlah bus kami.

Pemandangan sama dimana- mana.

Ada banyak hotel dan penginapan di sekitar Masjid Nabawi dan semua menyuguhkan pemandangan serupa. Kepadatan antrian bus sebab banyak rombongan jamaah haji akan menuju Mekah. Sepanjang ingatanku, ada batas hari terakhir kapan jamaah haji bisa memasuki kota Mekah sebelum puncak haji tiba. Dan batas hari itu hampir tiba. Itu sebabnya pergerakan jamaah dari Madinah ke Mekah mencapai puncaknya.

Bus bergerak menyusuri jalan. Aku masih menoleh- noleh ke belakang, ke samping, mencuri- curi pandang untuk melihat Masjid Nabawi. Ada yang terasa berat di hati. Ah, entah kapan bisa kembali kesini.

Dan doa- doa terlantun di dalam hati, semoga... semoga Dia Yang Maha Pemurah mengijinkan kami segera mengunjungi lagi tempat ini. Semoga... semoga ini bukan kali terakhir kami bisa datang ke Masjid Nabawi.

Bus terus bergerak, dan... eh, koq...

Sejujurnya, orientasi arahku tidak begitu baik. Tapi bagaimanapun, aku mengenali bahwa bus kami tidak bergerak ke arah luar kota seperti seharusnya tapi... kembali ke sekitar Masjid Nabawi, parkir di depan hotel kami tadi lagi.

Lho, ada apa ?

Kembali para petugas turun dari bus, menemui petugas Arab Saudi, melakukan pembicaraan dan ada kertas- kertas yang diberikan. Lalu kami berangkat lagi.

Kali ini benar- benar berangkat menuju Mekah, tak berputar kembali.

Penjelasan diberikan, bahwa rupanya tadi, walau kami diminta berangkat untuk mengurangi kepadatan antrian di depan hotel dan dijanjikan surat ijin akan diberikan di titik lain, hal itu rupanya tak memungkinkan untuk dilakukan, sebab petugas dari Arab Saudi yang berwenang memberikan surat ijin dan melepas keberangkatan kami benar- benar harus melihat rombongan secara fisik untuk dicocokkan dengan surat ijin yang dikeluarkan.

Itu kejadian pertama, di Madinah, yang membuat perjalanan kami terlambat.

Setelah itu, kami mengambil miqat di Masjid Bir Ali. Kemudian perjalanan dilanjutkan. Kami melintasi jalan tol menuju Mekah.

Aku dan suamiku saat itu duduk di bagian bus agak ke belakang. Selama menjalankan ibadah haji aku memang berusaha menghemat tenaga. Sempat sakit bahkan di hari- hari pertama tiba di Madinah, aku tak pernah mau tergesa atau terlalu banyak memilih- milih ini dan itu. Masuk ke bus-pun, dimana saja dapat tempat duduknya. Maka biasanya memang aku dan suamiku mendapat tempat agak ke belakang itu.

Tak banyak kejadian di awal perjalanan tersebut. Di dalam bus, kami melantunkan kalimat- kalimat talbiyah. Labbaik Allahuma Labbaik, labbaika la syarika laka labbaik. Aku datang memenuhi panggilanMu ya Allah. Aku datang memenuhi panggilanMu, tiada sekutu bagiMu, aku penuhi panggilanmu...

Selama perjalanan antara Madinah dan Mekah, bus beberapa kali berhenti. Rupanya, saat musim haji, ada beberapa check point yang harus kami lewati. Lebih banyak dibandingkan pengalamanku sebelumnya saat menjalankan ibadah umroh diluar musim haji.

Tak terlalu menjadi masalah. Di perhentian- perhentian ini kondisi cukup nyaman, dan kami bahkan menerima banyak pemberian makanan dan minuman yang disumbangkan oleh banyak pihak untuk para jamaah haji. Ada makanan kecil, ada sekotak chicken nugget dan kentang, ada.. banyak makanan lain yang membuat perut kami penuh betul.

Hingga kemudian, diumumkan bahwa kami sudah makin mendekati kota Mekah. Kuperhatikan di sekitar kami ramai. Banyak bus menuju ke arah yang sama. Kesabaran akan diperlukan disini. Sebab kemacetan tak akan bisa dihindari. Macetnya itu, seperti macet saat hendak mudik lebaran di Tanah Air.

Saat hendak memasuki Kota Suci Mekah itu, ada check point lagi dimana seluruh surat ijin, termasuk passport dan visa para jamaah akan diperiksa satu persatu. Di musim haji dimana begitu banyak jamaah yang akan memasuki kota itu, akan cukup banyak waktu yang dibutuhkan untuk itu.

Maka tak ada lagi yang bisa dilakukan selain menyiapkan diri dengan seluruh kesadaran bahwa agar ibadah kami dapat dilakukan dengan nyaman, kami perlu menerima kondisi yang kami hadapi dengan kesabaran dan kepasrahan.

Bus melaju terus. Supir kami, orang Indonesia, asalnya dari Madura. Rupanya dia belum lama berada di Arab Saudi. Memang didatangkan khusus untuk bekerja di musim haji itu. Bahasa Arabnya juga belum begitu fasih. Dia mengemudi dengan baik, tidak ugal- ugalan. Selama perjalanan dari Madinah, singgah di Masjid Bir Ali, hingga hendak memasuki kota Mekah itu, tak ada catatan negatif tentang caranya mengemudi.

Dalam kondisi yang relatif tenang dan terkendali itu, tentu saja kami tak mengharapkan apapun yang buruk akan terjadi.

Tapi, begitulah...

Bus terus melaju, lalu tiba- tiba saja suatu saat...

Brakkkkk...

Suara itu terdengar.

Kami kaget dan sedetik kemudian menyadari, bus kami rupanya menabrak bus lain yang berada tepat di depan kami.

Tak ada kerusakan berarti pada bus kami, tapi kaca belakang bus yang ditabrak, yang berada di depan kami, rontok berkeping.

Bus di depan kami itu bukan bus jamaah dari Indonesia. Entah darimana. Kulit mereka agak coklat, tapi aku tak tahu persisnya negara asal mereka.

Untunglah, walau kaca rontok dan mungkin ada penyok-penyok di badan bus, tak seorangpun terluka. Tidak di bus depan, tidak pula di bus kami.

Kami sungguh tak jauh lagi dari check point terakhir. Yang kami rencanakan tadinya adalah melalui check point untuk pemeriksaan dokumen, lalu mampir ke tempat dimana gelang- gelang karet tanda maktab kami dibagikan lalu menuju hotel kami yang terletak di seberang Masjidil Haram, beristirahat sejenak lalu menjalankan ibadah umrah kami segera malam itu.

Yang terjadi akhirnya tak seperti itu. Begitu kecelakaan yang terjadi, supir kami meminggirkan busnya dan menelepon ke suatu tempat (perusahaan bus dimana dia bekerja? ). Sebab bahasa Arabnya kurang begitu fasih, dia dibantu oleh para ustad yang berada di bus kami. Lalu disepakati kami harus mampir di suatu tempat dulu menanti petugas yang akan mengurus soal kecelakaan itu datang.

Maka kami mampir di sebuah tempat dimana ada tempat parkir yang lapang, sebuah masjid dan toilet yang berderet- deret.

Terbalut pakaian ihram, kami menanti beberapa jam disana.

Lalu beberapa petugas datang. Kami diminta naik kedalam bus kembali, dan bus berjalan ke tempat lain, dimana juga ada tempat lapang. Di tempat itu, supir bus yang berasal dari Madura turun kemudian seseorang naik menggantikannya duduk di balik kemudi. Konon, itu orang dari perusahaan asuransi setempat. Tinggi besar khas orang dari Timur Tengah.

Dan...

Ini yang diluar dugaanku. Orang dibalik kemudi itu menjalankan bus dengan kecepatan yang cukup tinggi, mencoba membelokkan secara mendadak, lalu mengerem tiba- tiba. Dia melakukan manuver semacam itu beberapa kali. Rupanya, itu untuk mengecek apa penyebab kejadian. Rem blong-kah, atau supir yang mengantuk.

Ya ampun !

Sampai hari ini aku tak paham, mengapa saat hendak mencoba melakukan hal tersebut kami para jamaah tak diminta turun dari bus tapi diajak untuk turut serta mencoba kondisi rem. Untunglah, rem itu ternyata berfungsi baik. Konon, kecelakaan tertabraknya bus di depan kami terjadi sebab supir kami mengantuk saat itu. Nah bagaimana jika sebenarnya penyebab kecelakaan itu adalah rem blong yang tak berfungsi baik, sementara saat mencoba rem itu kami semua ada di dalam bus?

Haduh, ada- ada saja.

Yang aku dengar, setelah tabrakan terjadi itu, sebenarnya kami ditawari untuk bertukar ke bus lain. Hanya saja, bus pengganti yang diberikan lebih kecil, kondisinya kurang bagus dan (maaf) seperti bus yang biasa memuat kambing, he he. Maka tawaran itu ditolak dan kami menanti diberikannya bus lain yang lebih layak. Tapi akibatnya kami harus menanti lama. Dan sepanjang ingatanku, sebab akhirnya rem bus kami ternyata berfungsi dengan baik, bus kami dianggap layak untuk terus dipakai untuk mengantarkan kami hingga tiba ke penginapan.

Seusai pemeriksaan oleh petugas dari asuransi itu, supir kami yang berasal dari Madura kembali naik ke belakang kemudi dan kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di hotel. Perjalanan dari Madinah ke Mekah yang umumnya bisa ditempuh dalam waktu empat setengah jam hari itu kami lalui dalam waktu hampir sembilan jam. Ibadah umrah kami tentu saja juga bergeser waktunya dan akhirnya dilaksanakan mulai lewat tengah malam dan baru kami selesaikan pada jam 4 pagi.

Begitulah. Musibah, kecelakaan, memang tak pernah kita harapkan. Tapi, manusia memang bisa berencana, berupaya, namun adakalanya apa yang terjadi memang diluar kemampuan kita untuk mengendalikan atau menghindari...

p.s. Semoga para korban yang luka karena crane yang jatuh di Masjidil Haram segera sembuh dan diberi kekuatan, agar bisa mengikuti rangkaian puncak ibadah haji di Mina dan Arafah. Semoga yang wafat diberi kebaikan. Meninggal pada hari Jumat, saat sedang beribadah di Masjidil Haram, semoga digolongkan sebagai mati syahid, Insya Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun