Jadi begini, anakku yang baru menjadi mahasiswa itu diterima di perguruan tinggi yang letaknya berbeda kota dengan tempat kami orang tuanya tinggal.
Setelah diterimanya dia di perguruan tinggi tersebut melalui jalur SBMPTN, di awal Agustus ini dia harus daftar ulang. Tak boleh diwakilkan. Jika tidak hadir pada jadwal daftar ulang yang sudah ditentukan, maka kelulusannya akan digugurkan.
Sejak sekitar sebulan yang lalu, sejak terbaca di pengumuman bahwa dia diterima, sudah kuminta dia memastikan bahwa seluruh persyaratan yang dibutuhkan untuk daftar ulang segera dilengkapi. Dilakukannya hal tersebut, dikumpulkannya semua dokumen dan disatukan dengan rapi dalam sebuah map. Anakku itu juga sudah berada di kota dimana perguruan tinggi tersebut berada sebelum hari-H.
Jadi, di atas kertas, semua aman. Dokumen sudah lengkap, dia sendiri sudah berada disana. Maka seharusnya, daftar ulang akan bisa dilakukan dengan lancar.
Namun, ada hal tak terduga yang terjadi. Pada sore hari sehari menjelang jadwal ulang itu, anakku itu sakit.
Dia memang langsung ke dokter sore itu juga, tapi... waduh, pikirku, dia kan besok daftar ulang. Kuat berangkat tidak dia? Duh.. jangan sampai setelah begitu sulitnya bisa menembus saringan masuk lalu kelulusannya digugurkan sebab tidak hadir di hari itu.
Sebab ingin memastikan kelancaran daftar ulangnya, maka akhirnya, tanpa rencana, sepulang kantor sore itu aku langsung berangkat menuju kota dimana dia berada. Dengan begitu, pikirku, aku bisa menemani dia untuk daftar ulang keesokan harinya. Tadinya aku tak berniat hadir saat dia daftar ulang. Tapi sebab dia sakit itu, ya sudahlah, kutemani saja untuk memastikan bahwa hal penting yang harus dilakukannya itu berjalan dengan baik.
Begitu daftar ulang usai, aku kembali ke rumahku di kota lain.
Beberapa hari setelah itu -- ya pada Senin pagi menjelang acara Sidang Senat Terbuka penerimaan mahasiswa baru itu -- mengingat kondisinya yang masih kurang sehat, kuhubungi dia melalui telepon untuk membicarakan urusan makan siangnya. Sebab kuperhatikan jajanan di sekitar gedung itu kurang bersih. Daripada jajan yang kurang bersih saat sedang sakit begitu, nanti bisa makin sakit, kutawarkan agar dia membawa bekal saja untuk dimakan siang harinya.
" Nggak usah, bu, " jawab anakku, " Nanti dibagi makan siang, koq... "
Oh ya sudah, pikirku. Aman kalau begitu, jika makan siangnya memang dibagi, jadi dia tak perlu jajan di tempat yang kebersihannya diragukan.