Saat mengantar itu, aku bukan hanya mengecek ruangan tempat testingnya tapi juga mengecek toiletnya. Toilet ternyata ada di lantai satu. Toiletnya lumayan bersih dan ada beberapa buah. Tapi, terpikir olehku, bagaimana jika pada saat bersamaan peserta testing yang ratusan orang itu perlu ke toilet?
Jeda antara dua jenis test yang diujikan hari itu hanya setengah jam.
Aku berhitung. Kelas tempat anakku testing ada di lantai dua. Dia akan perlu waktu untuk bisa mencapai toilet di lantai satu. Dan masih perlu menyiapkan pula sejumlah waktu tertentu untuk kembali dari toilet ke kelas. Artinya, setengah jam itu tidak penuh.
Jika toilet kosong, tak masalah. Kalau antri?
Dan jika antrian panjang... bagaimana? Kalau sampai tak kebagian toilet saat jam istirahat lalu kembali ke kelas menahan keinginan buang air kecil, bisa buyar konsentrasinya saat testing.
Maka... kupikirkan solusi yang (saat itu siiihhh... ) tampak cemerlang. Ha ha ha.
Kukatakan pada anakku, bocah lanang itu, untuk membawa botol bekas Aqua kosong di dalam tas-nya.
Iya, botol Aqua kosong.
Buat apa?
Ini lho...
Kukatakan pada anakku, jika terpaksa, kalau toilet penuh sementara waktu mepet, di depan ruang- ruang toilet itu kan ada koridor yang masih bagian dari ruangan toilet dimana wastafel berada. Kukatakan pada anakku, jika terpaksa, dia pipis saja di koridor itu. Cari tempat di sudut, lalu gunakan botol itu sebagai tempat penampungan dan setelah itu, buang ke tempat sampah.