Guntingan koran dan majalah yang diberikannya itu berisi tulisan- tulisan yang dibuatnya. Puisi atau cerpen dengan tokoh- tokoh yang menggambarkan seseorang yang serupa aku, dan/ atau meminjam namaku untuk tokoh- tokohnya, baik yang karakternya meminjam karakterku, atau juga...
" Apaan! Aku nggak mungkin melakukan hal kaya' gitu !", begitu protesku suatu hari padanya saat dia untuk kesekian kalinya memberikan guntingan cerpen yang baru dimuat di sebuah mingguan.
Kawanku tenang- tenang saja menanggapi kekesalanku yang menganggapnya 'mengurangi kekerenan' tokoh yang meminjam namaku itu dengan alur cerita yang tak kusepakati.
Ha ha ha.
Aku saat remaja itu tentu saja memiliki jalan pikiran yang sangat berbeda dengan aku di saat sudah tumbuh lebih dewasa.
Aku dalam versi yang lebih dewasa, lebih bisa memahami kenapa ada tokoh- tokoh cerpen yang meminjam karakter atau namaku yang tingkah atau pembicaraan dalam suatu cerpen tak sesuat dengan aku-yang-sebenarnya.
Ya tentu saja, sebab ada imajinasi yang terlibat dalam pembuatan cerpen itu. Dan imajinasi itu adalah imajinasi sang penulis cerpen, bukan imajinasiku. Ha ha ha. Jadi bagaimana setting, atau alur cerita cerpennya akan dibuat berdasarkan pikiran dan perasaannya, bukan pikiran atau perasaan aku yang 'hanya' dipinjam nama atau karakternya.
Dan aku yang lebih dewasa, walau juga tetap menganggap bahwa kawan baikku itu seharusnya bisa menemukan seseorang yang lebih patut untuk dijadikan sumber inspirasi dibanding aku, sejujurnya merasa tersanjung bahwa akulah konon orang di dunia yang selalu bisa memancing ide dan menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering baginya itu.
Sebab, paling tidak, hal tersebut membuktikan hipotesa ngawurku bahwa 'aneh' dan keren sebenarnya semata merupakan dua sisi yang berbeda pada satu keping mata uang yang sama, ha ha ha.
Dan juga, alasan lain yang lebih serius dari alasan pertama yang tak bisa dipertangung jawabkan kebenarannya di atas adalah bahwa aku tersanjung sebab, walau aku sebenarnya tak berbuat apapun, tapi aku bisa merasa berguna.
Kawan baikku ini, bisa membiayai kuliahnya sendiri dari honor tulisan- tulisannya yang dimuat di koran- koran dan majalah. Jadi, jika benar apa yang dikatakannya bahwa tingkah ajaibku memancing ide- ide di kepalanya mengalir tanpa henti sehingga dia bisa menulis begitu banyak cerpen dan puisi yang pada akhirnya membuat dia dapat meringankan beban orang tua dengan membiayai kuliahnya sendiri, termasuk memiliki cukup dana untuk membayar kost dan biaya hidup serta bahkan juga membeli buku-buku, maka apa lagi yang bisa (dan harus) kulakukan selain bersyukur bahwa semua hal itu bisa terjadi, kan?