Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Uniknya Anak- anak: IQ dan Peringkat di Kelas Tak Selalu Berbanding Lurus

6 Juni 2013   20:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:26 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah membayangkan seseorang dengan IQ di atas 150 ?

DULU, tak terbayang olehku. Bagiku, itu seperti tak nyata.

Aku tahu IQ setinggi itu ada, tapi rasanya sih, hidupku tak akan bersentuhan dengan hal tersebut. Itu sebabnya saat membaca berita tentang kelas super yang diadakan di suatu SMA di ibukota, aku tak terlalu tertarik.

Kelas super yang diisi murid- murid ber-IQ di atas 150 membuatku membayangkan sebuah komunitas dari planet lain. Murid- murid yang aku yakin, kalau aku ngobrol dengan mereka, pasti nggak nyambung. Dan dengan agak sirik kupikir mereka tak akan tahu caranya bersenang- senang.

Ah, betapa aku tak pernah tahu bahwa...

***

[caption id="attachment_258444" align="aligncenter" width="353" caption="Gambar: www.glasbergen.com"][/caption]

Kubuka amplop berisi hasil pemeriksaan psikologi anak keduaku, anak tengah di rumah kami.

Dia, akhirnya, mendapatkan perkecualian untuk mengikuti seleksi masuk kelas akselerasi, walau sebenarnya tak sesuai syarat dari sekolah. Aturan sekolahnya ketika itu mengatakan bahwa hanya anak- anak yang masuk 6 besar (dilihat dari nilai raport) yang berhak mengikuti seleksi.

Berbeda dengan saat kakaknya mengikuti program akselerasi dimana murid kelas 5 harus menyelesaikan bahan ajar dua tahun ( untuk kelas 5 dan kelas 6 ) dalam waktu setahun, program akselerasi untuk angkatan berikutnya dimulai di kelas 3 SD.

Pelajaran untuk kelas 3, 4 dan 5 yang umumnya diselesaikan dalam 3 tahun akan diberikan dan diselesaikan dalam 2 tahun. Kelas 6 akan dijalani penuh selama satu tahun. Maka, seleksi dilakukan di akhir masa kelas 2, sebab program akselerasi sudah akan dimulai di kelas 3.

Anak tengahku baru naik kelas 2 ketika kakaknya naik kelas 5 dan mulai masuk kelas akselerasi. Ketika itulah dia mengatakan pada kami bahwa dia kelak juga ingin masuk akselerasi.

Aduh, kami jadi bingung.

Anak tengah kami itu mogok di play group, membuat keriuhan di TK sebab bersikeras mengatakan cita- citanya adalah menjadi tukang parkir ketika hendak direkam dalam video untuk acara perpisahan kelas, dan.. mogok lagi di semester dua kelas 1 SD.

Hanya karena guru kelas 1 SD-nya sangat terbuka dan memahami sajalah dia terselamatkan. Ibu guru itu mengijinkan anakku bersekolah dengan flexi time. Menentukan sendiri jam masuk dan jam pulangnya, asal dia bisa menyelesaikan tugas- tugas sekolah sejumlah yang sama dengan teman- temannya.

Anakku beruntung. Di kelas dua dia diajar oleh guru lain yang juga cerdas berwawasan luas. Guru yang di akhir masa kelas memperjuangkan perkecualian bagi dua murid di kelasnya untuk mengikuti seleksi kelas akselerasi.

***

Saat anak kami mengatakan dia ingin juga masuk kelas akselerasi, tak kami patahkan keinginannya itu, walau kami sudah menyadari bahkan untuk bisa ikut seleksipun akan kecil kemungkinannya terjadi.

Nilai- nilainya raport anak kami sebetulnya bagus. Tapi kompetisi di sekolah itu memang ketat sekali. Selisih nilai raport antara anak yang satu dengan yang lain kadangkala hanya nol koma sekian. Dan jika urusannya peringkat, maka nol koma sekian menjadi berarti.

Kami sendiri tak pernah memusingkan itu. Kami bukan model orang tua yang biasa sibuk membandingkan raport anaknya dengan anak- anak lain atau sibuk memastikan anaknya masuk ranking atas di kelas. Fokus kami jangka panjang. Tentu saja kami perhatikan kemajuan akademik anak- anak tapi disamping itu kami juga menganggap penting pengembangan karakter dan pendidikan akan nilai- nilai hidup.

Menyadari kondisi anak kami, kami siapkan mentalnya. Kami katakan bahwa seleksi untuk masuk kelas akselerasi akan diadakan di akhir tahun ajaran. Hanya ada enam anak di kelas yang boleh ikut seleksi. Jika dia ingin bisa ikut seleksi itu, dia harus bekerja keras selama setahun itu. Tidak boleh mogok sama sekali, dan harus rajin belajar.

Di sisi lain, kami besarkan hatinya dengan mengatakan bahwa jikapun setelah belajar nanti dia ternyata tidak bisa ikut seleksi, itu tak menjadi masalah. Yang penting, usaha dulu, begitu kami katakan padanya.

Anak kami menyetujui apa yang kami katakan dan dia belajar sangat rajin di kelas 2 itu. Dia juga tak sekalipun mogok sekolah.

Dan...

Tetap saja dia tidak masuk ke 6 besar. Ha ha ha.

Peringkat- peringkat atas di kelas kebanyakan diisi anak- anak perempuan. Anakku bahkan tidak masuk 10 besar. Dia di peringkat 11 saat itu.

Maka, kami sungguh heran ketika suatu hari dia pulang dari sekolah membawa selembar surat pemberitahuan bahwa dia termasuk anak yang diundang untuk seleksi masuk kelas akselerasi.

Kami gembira, sebab artinya peluang terbuka. Tapi, untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan, kami datang ke sekolah dan menemui gurunya. Gurunya mengkonfirmasi bahwa anak kami memang diberikan kesempatan ikut seleksi. Berbeda dengan kelas- kelas lain yang mengirimkan 6 murid untuk diseleksi sesuai peraturan sekolah, ibu guru muda yang mengajar di kelas 2 ini rupanya sangat jeli.

Dia melihat dua anak yang menurutnya potensial yang dalam rapat guru diajukannya untuk bisa turut serta mengikuti seleksi kelas akselerasi. Keduanya anak lelaki. Yang satu, anakku, ranking 11 di kelas. Satu lagi, anak lelaki lain, ranking 16 di kelas. Maka ada delapan anak, bukan hanya enam, dari kelasnya yang ikut seleksi.

Padahal seperti juga kami, orang tua anak yang ranking 16 itu juga sama sekali tidak bicara atau meminta keistimewaan apapun pada ibu guru tersebut. Itu murni inisiatif sang ibu guru.

Dan...

Pengamatan ibu guru itu ternyata akurat. Setelah dilakukan test psikologi, justru kedua anak yang ikut seleksi karena perkecualianlah yang hasil test psikologinya menunjukkan hasil tertinggi dalam hal intelegensi dibanding anak dengan peringkat tinggi di kelas.

Peringkat di sekolah, terutama di kelas rendah, memang adakalanya tak berbanding lurus dengan potensi.

Anak dari ibu yang duduk di sebelahku saat pengumuman hasil seleksi adalah contohnya. Anaknya tak sekelas dengan anakku. Dia tak kenal aku dan tak kenal anakku.

Ibu tersebut kaget sekali saat anaknya yang konon peringkatnya selalu berada diantara peringkat 1 atau 2 di kelas ternyata tak disarankan untuk masuk kelas akselerasi. Nilai IQ anak itu walau tentu tak buruk, tapi juga tidak sangat tinggi.

Itu sebabnya aku bingung bagaimana caranya memberi jawaban ketika ibu itu bertanya padaku apakah anakku diterima masuk kelas akselerasi, yang dilanjutkan dengan pertanyaan " Anaknya juara terus ya? Berapa IQ-nya ? "

Anakku, penggagas kampanye bahwa sekolah itu tidak asyik, anak yang memiliki riwayat mogok sekolah sejak play group , berdasarkan hasil test psikologi dinyatakan memiliki IQ... 159.

Dia masuk kelas akselerasi, dan... tetap melanjutkan tradisi mogok sekolahnya hingga kelas 5 SD.

Ya ampun!

** Artikel sebelumnya: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/06/06/uniknya-anak-anak-kelas-akselerasi--566166.html

http://edukasi.kompasiana.com/2013/06/06/uniknya-anak-anak-anak-cerdas-lomba-dan-mental-juara-566235.html

http://hiburan.kompasiana.com/humor/2013/06/06/uniknya-anak-anak-aku-mau-jadi-tukang-parkir-566301.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun