Anak kami menyetujui apa yang kami katakan dan dia belajar sangat rajin di kelas 2 itu. Dia juga tak sekalipun mogok sekolah.
Dan...
Tetap saja dia tidak masuk ke 6 besar. Ha ha ha.
Peringkat- peringkat atas di kelas kebanyakan diisi anak- anak perempuan. Anakku bahkan tidak masuk 10 besar. Dia di peringkat 11 saat itu.
Maka, kami sungguh heran ketika suatu hari dia pulang dari sekolah membawa selembar surat pemberitahuan bahwa dia termasuk anak yang diundang untuk seleksi masuk kelas akselerasi.
Kami gembira, sebab artinya peluang terbuka. Tapi, untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan, kami datang ke sekolah dan menemui gurunya. Gurunya mengkonfirmasi bahwa anak kami memang diberikan kesempatan ikut seleksi. Berbeda dengan kelas- kelas lain yang mengirimkan 6 murid untuk diseleksi sesuai peraturan sekolah, ibu guru muda yang mengajar di kelas 2 ini rupanya sangat jeli.
Dia melihat dua anak yang menurutnya potensial yang dalam rapat guru diajukannya untuk bisa turut serta mengikuti seleksi kelas akselerasi. Keduanya anak lelaki. Yang satu, anakku, ranking 11 di kelas. Satu lagi, anak lelaki lain, ranking 16 di kelas. Maka ada delapan anak, bukan hanya enam, dari kelasnya yang ikut seleksi.
Padahal seperti juga kami, orang tua anak yang ranking 16 itu juga sama sekali tidak bicara atau meminta keistimewaan apapun pada ibu guru tersebut. Itu murni inisiatif sang ibu guru.
Dan...
Pengamatan ibu guru itu ternyata akurat. Setelah dilakukan test psikologi, justru kedua anak yang ikut seleksi karena perkecualianlah yang hasil test psikologinya menunjukkan hasil tertinggi dalam hal intelegensi dibanding anak dengan peringkat tinggi di kelas.
Peringkat di sekolah, terutama di kelas rendah, memang adakalanya tak berbanding lurus dengan potensi.