Benarkah hanya ada senang belaka ketika kita membesarkan anak- anak yang (terlalu) cerdas?
JIKA ada satu topik yang sebetulnya sejak lama kuniatkan untuk kutuliskan secara khusus ketika aku mulai memiliki blog, dan ternyata tak semudah itu untuk diwujudkan, maka topik itu adalah topik tentang anak- anak...
Sejak dulu, aku sebenarnya ingin sekali berbagi cerita tentang anak- anakku. Ketiga anak unik-ku. Sudah beberapa kali kucoba, tapi biasanya cerita yang kutulis tak sedalam yang kuinginkan, atau bahkan tak selesai.
Ada banyak hal yang bisa ditulis, sebenarnya. Yang jadi masalah memang bukan bahan tulisannya, tetapi mengatasi emosi saat menulisnya.
Aku berniat menulis untuk bersenang- senang. Detoksifikasi. Mengeluarkan limbah- limbah dari kepala dan hati. Dan topik tentang anak- anak ternyata agak rumit. Selalu senang menulis tentang mereka, tentu saja, tapi adakalanya beragam emosi yang kucoba kuredam sekian lama selama membesarkan mereka lalu melimpah keluar saat menulis topik ini. Emosi- emosi yang kadangkala meluap, mengalir keluar tak terkendali, membuatku banjir air mata dan terpaksa beralih menuliskan topik lain...
***
[caption id="attachment_243884" align="aligncenter" width="462" caption="Gambar: professorlamp.com"][/caption]
Aku tercengang.
Suatu hari, seorang kawanku, Kepala Sekolah sebuah SMP, menceritakan bahwa salah seorang muridnya yang sangat cerdas tidak diterima di SMA Negeri favorit di kota tempat tinggalnya, sebab 'salah' menjawab saat sesi wawancara yang merupakan bagian dari rangkaian test masuk SMA tersebut.
Kasihan anak itu.
Sebab, menurut aku tak ada yang salah dengan jawabannya. Begitu pula menurut kawanku itu. Itu sebabnya dia menceritakan hal tersebut padaku. Sebab dia tahu, aku akan dapat memahami jawaban anak tersebut, sama seperti kawanku itu dapat memahaminya.
Tapi tidak para pewawancara itu.
Jawaban yang justru menunjukkan kecerdasan, keluasan wawasan dan tingginya cita- cita anak tersebut malah dipatahkan.
Dia tak diterima.
Aku hampir yakin bahwa saat wawancara tersebut, para pewawancara luput menanyakan apa alasan di balik jawaban tak biasa tersebut. Dan aku yakin alasannya akan merupakan rangkaian cerita berisi harapan, mimpi- mimpi serta keinginan anak tersebut untuk menggapai bintang.
Dan keinginan anak itu bahkan sudah diruntuhkan saat dia baru hendak masuk SMA.
Memprihatinkan, sungguh.
***
Ada cerita lain.
Suatu hari saat mengantarkan anakku ke sanggar lukis, ada sebuah lukisan yang belum kering terpajang di studio lukis tersebut.
Tak perlu menjadi psikolog atau ahli lukisan untuk dapat membaca apa emosi di balik lukisan tersebut. Sangat tampak bahwa ada seseorang yang tertekan, marah, dan memprotes suatu sistem yang tak kuasa dilawannya.
Kutanyakan, milik siapa lukisan tersebut, dan jawaban yang kuterima adalah bahwa lukisan itu dibuat oleh seorang murid kelas 1 SMP. Anak sangat cerdas yang nyeleneh dan terkucilkan di sekolah sebab dia dianggap gila.
Kawan- kawan mengolok- oloknya, bahkan kadangkala melemparinya dengan batu. Guru- guru tak pula membantu. Mereka sepakat bahwa anak tersebut memang 'gila'.
Orang tua sang anaklah yang kemudian demi kesehatan jiwa anaknya mengajak dia ke sanggar lukis dan membiarkannya melepaskan seluruh emosinya di atas kanvas.
Prihatin. Prihatin.
Aku mengerti dengan baik perasaan anak tersebut. Juga bisa kuraba perasaan orang tuanya,sebab...
Aku adalah ibu dari tiga orang anak unik yang kurang lebih pernah menyaksikan bagaimana anak- anak itu tidak dipahami oleh dunia.
Bagaimana kecerdasan mereka seringkali membuat mereka tak dipahami sekitar, dan bagaimana alih- alih membantu mereka menyesuaikan diri, bahkan para guru di sekolahpun lebih suka memberikan label negatif.
Bukannya memberikan kesempatan, ternyata banyak guru dan sekolah yang lebih suka merendahkan murid, menganggap mereka bermasalah ketika sebaliknya mereka justru memiliki potensi yang sangat tinggi.
Dan begitulah, sudah lama, sejak aku memahami bahwa anak- anakku adalah satu, eh... tiga, diantara sekian banyak anak unik dan menghadapi fakta bahwa masih sedikit orang yang dapat memahami mereka, kuputuskan bahwa aku harus menjadi benteng kekuatan mereka.
Harus bisa menunjukkan keringanan hati, keceriaan, kegembiraan, optimisme, dan beragam hal lain semacam itu untuk dapat membantu mereka menghadapi dunia.
Untuk bisa mengajarkan pada mereka falsafah " I'm OK, you're OK ".
Untuk dapat membantu mereka tumbuh sehat dan bahagia serta memahami bahwa tak ada yang salah untuk menjadi unik.
Untuk dapat mengoptimalkan karunia yang diberikan Sang Pengasih pada mereka, lepas dari bahwa hal itu sebenarnya tak mudah.
Sama sekali tidak mudah.
Dan itu sebabnya, aku selalu kesulitan untuk menuliskan topik itu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H