[caption id="attachment_3736" align="alignnone" width="640" caption="suriraudhah.blogspot.com"][/caption]
Aku malu.
SUNGGUH malu. Sebab tak menyangka. Dan merasa tidak berhak menerima.
Kami sekeluarga berada di Tanah Suci saat ini. Dan kejadian itu terjadi saat aku mengunjungi Raudhah. Taman Surga. Bagian antara rumah dan mimbar Nabi Muhammad saw (di Masjid Nabawi, Madinah) yang diriwayatkan sebagai suatu tempat dimana doa- doa yang dipanjatkan disitu pasti akan dikabulkan.
Tempatnya sendiri tak begitu luas. Ditandai dengan karpet berwarna hijau di bagian Masjid Nabawi yang asli -- yang dibangun Rasulullah, sementara bagian lain di masjid tersebut baik di masjid yang asli maupun perluasannya berkarpet merah.
Maka, perlu kesabaran untuk bisa masuk ke situ. Kadang harus lama menanti, kadang bisa segera masuk. Dan setelah itu, saat masuk, tergantung situasi saat itu, apakah bisa mendapatkan tempat untuk shalat atau hanya bisa berdiri berdoa sebab tak ada cukup ruang untuk bersujud. Atau kadang bahkan untuk berhenti sejenakpun tak bisa sebab terus terdorong arus menuju pintu keluar.
Pada kunjungan selama tiga hari di Madinah, tiga kali pula aku mengunjungi Raudhah. Yang pertama, aku sempat shalat beberapa rakaat, sempat berdoa, walau agak tergesa, sebab ramai sekali.
Yang kedua, di esok harinya, sedikit sekali shalat yg bisa kulakukan, sebab kondisi lebih penuh lagi. Maka aku berdiri saja mengucapkan salam pada Rasulullah dan para sahabat serta melantunkan doa- doa.
Di pagi hari ketiga, dimana pada siang harinya kami akan berangkat ke Mekah, masih kusempatkan juga pergi ke Raudhah.
Aku pasrah saja, melihat lebih banyak lagi orang yang antri hendak masuk kesana, dan melihat pengalaman dua hari sebelumnya, kulapangkan saja hati. Kusampaikan dalam hati pada Sang Kuasa jika memang itu kehendakNya, bahwa memang pada kunjunganku kali ini ke Madinah memang aku hanya diberi kesempatan shalat dengan sangat tergesa lalu berdoa sambil berdiri di Raudhah, aku terima keputusan itu.
Walau, tentu saja aku akan lebih senang jika bisa memperoleh kesempatan shalat dengan tenang dan melantunkan banyak doa dalam situasi lapang.
Tapi melihat begitu berjubelnya orang yang hendak masuk ke Raudhah, kutekan keinginan itu.
Di atas kertas, tak mungkin itu tercapai. Keramaiannya bahkan melebihi keramaian di hari pertama dan kedua aku berkunjung kesana.
Tapi begitulah.
Apa yang diperhitungkan oleh manusia memang bisa saja berbeda dengan apa kehendak Sang Pencipta. Tak ada yang sulit bagiNya. Apapun yang dikehendakinya bisa terjadi.
Di kali ketiga aku masuk ke Raudhah pagi itu, ketika jumlah orang yang hendak masuk jelas lebih banyak dan ramai dari kali pertama dan kedua aku kesana, ruang kosong justru tercipta di depanku. Juga di depan ibu, putriku, dua orang kakak ipar serta asisten rumah tangga ibuku yang saat itu turut serta masuk kesana bersama kami.
Bayangkan, ketika mencari sedikit uang untuk bisa shalat bagi satu orang saja begitu sulit disana, pagi itu kami berlima malah begitu leluasanya shalat dan berdoa di Raudhah.
Setelah shalat, mengikuti arah gerak gelombang manusia yang masuk dan keluar, aku malah tergeser ke depan sebuah tiang, dan terhenti disitu.
Akibatnya aku bahkan lalu memiliki tambahan lagi waktu untuk terus megucap salam pada Rasulullah, Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya serta untuk berdoa sambil berdiri menempel pada tiang.
Saat itulah, seorang ibu- ibu yang tak kukenal, yang berkebangsaan Indonesia juga, menyapaku dan meminta aku untuk menjaganya selama dia shalat (agar tak terdesak gelombang manusia dan tetap tersedia ruang cukup untuk shalat ).
Aku tidak menjawab. Tidak mengiya tak pula mengatakan tidak. Gelombang manusia begitu besar masuk dan aku memahami, semua orang itu juga ingin dan memang berhak shalat dan berdoa disana. Jadi, aku tak hendak melakukan apa- apa. Kuperhatikan saja ibu- ibu yang memintaku menjaganya itu tapi tak kulakukan apapun yang khusus sebenarnya.
Sampai...
Ibu tersebut selesai shalat dan dia menoleh padaku lalu berkata, " Terimakasih ya, sudah dijagain."
Eh?!
Aku terpana.
Aku kan tak melakukan apa- apa?
Dan aku malu sekali rasanya.
Sebab tahu tak berhak menerima ucapan terimakasih itu. Sungguh.
( Ah betapa sering kita tak bersyukur ketika kita padahal lebih sering lagi menerima karunia tak terduga. Betapa sering kita kesal merasa tak dihargai padahal sering kita menerima ucapan terimakasih dan penghargaan ketika kita sebenarnya tak melakukan apapun untuk itu... )
p.s. Catatan ini dibuat di Mekah, merupakan tulisan ke-3 dari serangkaian tulisan catatan perjalanan ziarah dan ibadah umrah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H