Tapi melihat begitu berjubelnya orang yang hendak masuk ke Raudhah, kutekan keinginan itu.
Di atas kertas, tak mungkin itu tercapai. Keramaiannya bahkan melebihi keramaian di hari pertama dan kedua aku berkunjung kesana.
Tapi begitulah.
Apa yang diperhitungkan oleh manusia memang bisa saja berbeda dengan apa kehendak Sang Pencipta. Tak ada yang sulit bagiNya. Apapun yang dikehendakinya bisa terjadi.
Di kali ketiga aku masuk ke Raudhah pagi itu, ketika jumlah orang yang hendak masuk jelas lebih banyak dan ramai dari kali pertama dan kedua aku kesana, ruang kosong justru tercipta di depanku. Juga di depan ibu, putriku, dua orang kakak ipar serta asisten rumah tangga ibuku yang saat itu turut serta masuk kesana bersama kami.
Bayangkan, ketika mencari sedikit uang untuk bisa shalat bagi satu orang saja begitu sulit disana, pagi itu kami berlima malah begitu leluasanya shalat dan berdoa di Raudhah.
Setelah shalat, mengikuti arah gerak gelombang manusia yang masuk dan keluar, aku malah tergeser ke depan sebuah tiang, dan terhenti disitu.
Akibatnya aku bahkan lalu memiliki tambahan lagi waktu untuk terus megucap salam pada Rasulullah, Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya serta untuk berdoa sambil berdiri menempel pada tiang.
Saat itulah, seorang ibu- ibu yang tak kukenal, yang berkebangsaan Indonesia juga, menyapaku dan meminta aku untuk menjaganya selama dia shalat (agar tak terdesak gelombang manusia dan tetap tersedia ruang cukup untuk shalat ).
Aku tidak menjawab. Tidak mengiya tak pula mengatakan tidak. Gelombang manusia begitu besar masuk dan aku memahami, semua orang itu juga ingin dan memang berhak shalat dan berdoa disana. Jadi, aku tak hendak melakukan apa- apa. Kuperhatikan saja ibu- ibu yang memintaku menjaganya itu tapi tak kulakukan apapun yang khusus sebenarnya.
Sampai...