Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Saat Mimpi Indah Berubah Menjadi Mimpi Buruk: Terjebak Kerusuhan di Stasiun Kereta

13 April 2013   11:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:16 1828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku ini, penggemar kendaraan umum...

SELALU saja, ada cerita yang bisa dicatat dalam ingatan dari kesukaanku naik kendaraan umum ini.

Apapun.

Baik yang menyenangkan maupun yang...

Mengerikan.

***

[caption id="attachment_247706" align="aligncenter" width="316" caption="Gambar: cartoonstock.com"][/caption]

Ini salah satu diantaranya.

Aku pulang kantor hari itu. Agak lelah, sungguh kudambakan dapat segera tiba di rumah dan leyeh- leyeh, ngobrol dan bercanda bersama keluarga.

Kutuju stasiun kereta. Walau kini sudah sangat tak nyaman dan waktu tempuhnya bertambah, aku masih sering memilih KRL sebagai jenis transportasi untuk berangkat dan pulang dari kantor.

Dulu, masih ada beberapa macam KRL yang dapat dipilih oleh penggunanya sesuai kebutuhan dan kemampuan. KRL Ekspres yang cukup nyaman dan waktu tempuhnya singkat karena hanya berhenti di beberapa stasiun tertentu saja, KRL Ekonomi AC yang lebih padat tapi masih cukup aman, dan KRL Ekonomi yang kita semua tahu, sangat alakadarnya.

Belakangan, PT. KAI memutuskan untuk berfokus pada satu jenis layanan saja yakni apa yang mereka sebut sebagai KRL Commuter Line, yang sebenarnya adalah jenis KRL yang dulu disebut sebagai KRL Ekonomi AC, namun dengan tarif yang jauh lebih mahal dan tingkat layanan yang lebih buruk.

Jelas, tujuannya semata volume, jumlah penumpang. Kepuasan pelanggan yang mereka sebutkan dalam misi tertulis mereka, tampaknya sama sekali tak terpikirkan saat membuat strategi dan mengaplikasikannya dalam KRL 'Commuter Line' yang berhenti di setiap stasiun ini.

Selain KRL 'Commuter Line' (bahkan membuat istilahpun mereka salah! ), KRL Ekonomi masih ada, tapi jumlahnya jauh dikurangi. Frekwensi perjalanannya menyusut, dengan ketidak pastian yang sangat tinggi, sebab seringkali hanya beberapa menit sebelum keberangkatan, ada pengumuman bahwa perjalanannya dibatalkan.

Namun, begitulah, walau sangat jauh dari kata puas dan dengan berjuta gerutuan, aku masih juga sering naik KRL.

Begitu juga malam itu.

Angan tentang rumah yang menyenangkan, tawa canda suami dan anak- anak yang hangat memenuhi benakku mengeliminir beragam ketidak nyamanan dalam KRL yang kutumpangi.

Kerumitan naik KRL yang tak nyaman malam itu masih harus ditambah dengan kerepotan transit dan menyambung kereta, yang disebabkan oleh adanya keputusan membuat jalur melingkar- lingkar sementara sebetulnya jumlah gerbong kereta belum memadai, PT. KAI menambah kesengsaraan penumpang dengan memenggal jalur perjalanan. Banyak jalur di jam- jam sibuk yang dulu merupakan satu jalur panjang menuju tujuan utama dipenggal di tengah- tengah dan penumpang harus berganti kereta di stasiun tertentu.

Jangankan kenyamanan. Keamananpun tak lagi menjadi kriteria.

Naik turun peron yang tinggi, berlari- lari menyebrang rel di setasiun dengan kereta yang lalu lalang, menuju kereta sambungan nun jauh di jalur di sisi yang lain, dengan jadwal yang juga tak cukup sesuai ( belum lagi ditambah dengan keterlambatan KRL atau, yang ajaib, kadangkala, malah terlalu cepat ), sungguh menunjukkan betapa kacaunya logika perancang dan pembuat keputusan di PT. KAI.

Dan...

Malam itu, ternyata akan menjadi malam yang sulit dilupakan...

Begitu KRL 'Commuter Line' yang kutumpangi berhenti di Stasiun Depok Lama, aura ketidakberesan dan ketegangan dengan segera menyergap.

Stasiun jauh lebih penuh dari biasanya.

Para calon penumpang yang ada di peron menanti kereta tampak gelisah.

Di sebuah jalur, tampak KRL Ekonomi padat penumpang yang siap diberangkatkan, tapi tak juga berangkat. Ada beberapa penumpang naik ke atap. Tidak banyak, tapi ada. Dan ada petugas yang sikapnya kasar serta berlebihan.

Petugas itu melepaskan tembakan dan menyeret satu penumpang.

Keresahan jelas terasa.

KRL Ekonomi itu mulai bergerak sedikit. Dan seakan tak rela jika potensi kerusuhan itu dicegah oleh laju kereta, saat KRL Ekonomi itu mulai bergerak perlahan, terdengar tembakan lagi. KRL dengan serta merta berhenti, dan apa yang terjadi sudah lebih dari apa yang dapat ditanggungkan oleh banyak penumpang yang pada dasarnya sudah resah dan gelisah.

Penumpang KRL Ekonomi meloncat turun dari kereta, marah dan mengamuk.

Saat itu, di jalur lain ada KRL ‘Commuter Line’ baru masuk Depok Lama. Penumpang yang baru tiba dan tak menduga akan menghadapi situasi seperti itu tentu saja juga menjadi sangat panik ketika mendengar tembakan dan terjebak dalam kerusuhan.

Sebagian penumpang KRL Ekonomi yg mengamuk sempat masuk ke KRL 'Commuter Line' ini untuk menghalau para penumpang keluar kereta yang (seharusnya) ber-AC ini (walau faktanya seringkali AC tak berfungsi ).

Aku sungguh khawatir. Kerusuhan yang dipicu oleh kemarahan para penumpang KRL Ekonomi pada PT. KAI mulai berubah menjadi kecemburuan pada (sesama) penumpang yang mampu membayar lebih dari karcis KRL Ekonomi.

Aku yang memang tadinya bermaksud meneruskan perjalanan dan sudah kembali ada di dalam gerbong KRL 'Commuter Line' itu hanya bisa berdoa dan pasrah ketika pintu KRL itu tertutup, namun masinis tak berani menjalankan kereta itu sebab belum ada perintah dari petugas pengatur perjalanan kereta api.

Ada penumpang KRL Ekonomi yang menyerbu masuk, menghalau para penumpang KRL 'Commuter Line' untuk keluar (padahal pintu tertutup), serta berusaha mencegah masinis menjalankan KRL 'Commuter Line' itu. Juga ada kejar-kejaran antara petugas dan penumpang ekonomi diatas KRL 'Commuter Line' ini.

Aku mulai was- was sebab kusadari saat itu bahwa terjebak di dalam gerbong!

KRL yang kutumpangi tak juga beranjak maju, sementara itu, di luar, para penumpang KRL Ekonomi mulai menggedor- gedor jendela gerbong dimana aku berada sembari berteriak- teriak tak terkendali.Di sekitarku, beberapa perempuan mulai menangis, sebagian bahkan sudah menjerit- jerit histeris.

Aku berupaya tetap tenang, memikirkan jalan keluar.

Hanya logika yang akan bisa membantu, bukan emosi sesaat, ketika mimpiku untuk segera pulang ke rumah hangat penuh cinta malam itu ternyata terhalang oleh kejadian mengerikan yang tak pernah kudamba akan pernah kualami...

p.s:

Artikel selanjutnya : http://metro.kompasiana.com/2013/04/14/antara-stasiun-bawah-tanah-di-atlanta-dan-stasiun-krl-depok-lama-mana-yang-lebih-berbahaya-sebetulnya--551159.html

***

13658354115366945
13658354115366945

1365838174631401650
1365838174631401650

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun