Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Uniknya Anak- anak: Nilai Raport yang 'Kurang'

21 Juni 2013   10:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:39 1724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1368177033232211494


[caption id="attachment_253209" align="aligncenter" width="369" caption="Gambar: www.baywoodlearningcenter.org "][/caption]

Pagi ini aku mengambil raport anak tengahku...


Dia kelas 1 SMA saat ini. Bersekolah di sebuah SMA Negeri (yang konon) terbaik di kota kami.


SMA dimana kakaknya dulu juga bersekolah.


Dan sungguh, pagi ini perasaanku campur aduk antara geli, prihatin, sedih, dan..ingin tertawa.


Hah? Ingin tertawa? Kenapa?


Iya benar. Aku ingin tertawa sekaligus kesal walau di depan wali kelas anakku tentu saja aku bersikap patut. Tak membantah sama sekali, mengatakan iya untuk semua yang dikatakan wali kelas dan berterimakasih atas bimbingan yang diberikan pada putra kami.


Ucapan terimakasih itu tulus, tentu saja. Aku berpendapat, seseorang akan selalu harus berterima kasih pada guru- guru yang pernah mendidiknya. Walau tak berarti harus selalu sepakat pada apa yang dikatakannya.


Dan aku tadi, tak membantah serta meng-iyakan semua yang dikatakan wali kelas anakku sebetulnya memang bukan karena setuju, tapi lebih karena tak mau membuang waktu.


Kusadari sepenuhnya bahwa dasar pemikiran kami berbeda, falsafah kata 'mendidik' yang ada dalam kepalaku pasti juga tak serupa dengan wali kelas anakku itu.


Maka, buat apa berpanjang cerita? Aku memilih untuk menghormati perbedaan saja.


Bagaimanapun, tak ada yang memaksa anak kami untuk bersekolah disana, tak pula ada yang mengharuskan kami untuk menyetujui keinginannya untuk bersekolah disitu.


Semua dilakukan dengan kesadaran penuh. Dan kami mengambil semua konsekwensi atas keputusan itu. Baik hal baik maupun hal buruknya.


Sebab, sudah lama kami tahu, tak ada sekolah yang ideal. Jadi, pemilihan sekolah akan tergantung pada apa prioritas yang ingin difokuskan saja. Tak satupun sekolah yang bisa memenuhi semua harapan.


Maka begitulah, kami anggukkan kepala saat anak tengah kami, sejujurnya diluar dugaan kami, selulus SMP mengatakan bahwa dia ingin masuk ke SMA Negeri.


Keinginan biasa, sederhana, yang jika bukan dia yang meminta tak akan membuat kami orang tuanya perlu berdiskusi dulu sebelum sampai pada keputusan untuk menyepakati keinginannya.


Bukan apa- apa. Sejak awal sudah bisa kami prediksi, anak tengah kami yang memiliki riwayat panjang mogok sekolah selama bertahun- tahun sejak usia batita dulu akan masuk ke 'tempat penyiksaan' baru.


Kami tahu persis, kultur sekolah negeri tak cocok untuknya. Apalagi ini pertama kali dia bersekolah di sekolah negeri.


Berbeda dengan kakaknya yang kini mahasiswa di sebuah PTN (yang konon juga PTN terbaik di negeri ini ) yang dulu bersekolah di SMP dan SMA Negeri tanpa terlalu banyak mengeluh, kami duga anak tengah kami akan kembali merasa sangat tertekan di sekolah. Kreativitasnya juga akan terpaksa agak terpasung. Dan bisa jadi, dia akan dianggap murid tak berprestasi di situ.


Di sekolah dimana satu- satunya ukuran penghargaan adalah berupa ranking keberapa dia di kelas, dia tak akan masuk hitungan.


Ditambah lagi, anak- anak yang bersekolah disana adalah anak- anak paling pintar di kota kami dari segi akademis. Artinya, selisih nilai satu anak dengan anak lain akan juga sangat tipis.


Maka sejatinya peringkat tak lagi valid untuk melihat apakah seorang anak berprestasi atau tidak.


Pemikiran macam itu ditunjang lagi dengan faham dasar yang kuanut bahwa mendidik anak untuk memiliki mental juara lebih penting daripada menjadi juara.


Dan...


Inilah yang terjadi saat pembagian raport tadi...


Saat kusebutkan nama anakku, wali kelas anakku bahkan sebelum aku duduk rapi di kursi dihadapannya berkata, " Haaa, ibu mau ambil raport xxx (dia sebutkan nama anakku), ya? Itu anaknya harus belajar lagi, bu. Dia itu agak kurang. "


Aku diam, tak tahu harus menjawab apa. Kutahu persis bahwa sepanjang semester ini tak satu kalipun anakku harus mengikuti her saat ulangan. Maka bagiku, jelas apa artinya itu: dia tidak 'kurang' sebab dia memenuhi standar nilai yang ditetapkan di sekolah itu bahkan tanpa pernah harus mengikuti remedial atau megulang test untuk mata pelajaran manapun.


Jadi, kutelan saja 'penghinaan' itu.


Ibu wali kelas mengatakan sesuatu tentang peringkat kelas. Jelas, tak seperti si sulung yang selalu dianggap bersinar sebab dia senantiasa ada di urutan- urutan atas peringkat kelas, sudah bisa diduga bahwa anak tengahku yang justru IQ-nya paling tinggi diantara ketiga anak kami di rumah tak serupa itu.


IQ anak tengah kami 159 namun urusan peringkat kelas tak pernah menjadi sesuatu yang menjadi kekuatannya. By all means, dia terlalu unik untuk bisa dinilai dari satu komponen itu saja.


Sudah lama kami sadari bahwa IQ yang merupakan standar pengukuran intelegensi seseorang tak senantiasa berbanding lurus dengan peringkat kelas. Apalagi jika anak tersebut bersekolah di sekolah yang metodenya tak cocok dengan dirinya.


Maka aku tenang- tenang saja ketika menerima raport anakku ini dan ibu wali kelasnya masih terus mengomel, "Nah, lihat kan, nilainya pas-pasan. Cuma sedikit di atas nilai kelulusan minimal. Ini kurang sekali. Anaknya harus disuruh belajar lebih rajin di kelas dua nanti, bu, supaya peringkatnya naik. "


Kujawab dengan "ya, bu" semua omelan ibu wali kelas sambil berusaha tak menoleh ke belakang untuk memperhatikan reaksi para orang tua lain.


Kelas itu tak kosong tentu saja. Ada orang tua murid lain disana. Dan sebab ibu wali kelas itu mengomel dengan suara keras, aku yakin bahwa kalimatnya pasti bisa tertangkap jelas oleh siapapun yang ada disitu.


Kuterima raport anakku yang dibuka halamannya oleh ibu wali kelas yang masih terus mengatakan 'anak ini kurang'.


Kalimat yang membuatku antara kesal, prihatin, geli dan ingin tertawa.


Duh, pikirku. Dunia memang akan jadi kacau balau kalau beginilah cara seorang anak dinilai.


Celaan itu tak berdasar menurutku, sebab ketika sekilas kutelusuri deretan angka- angka di raport itu, ini yang terbaca: Bahasa Indonesia 82, Bahasa Inggris 85, Fisika 80, Biologi 81, Kimia 80, Teknologi Informasi 89..dan entah apalagi tapi yang jelas angka- angka dengan kepala 8 bertaburan di raport itu.


Di sebelah kiri deretan angka yang dicapai anakku, berderet daftar angka KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal ) yang bervariasi antara 77-80. KKM bervariasi di setiap sekolah.KKM di sekolah anakku memang sangat tinggi.


Aku menahan gelakku ketika ibu wali kelas itu berulang kali mengatakan anakku 'kurang' sebab nilai yang dicapainya 'hanya beda sedikit- sedikit saja' dengan KKM.


Nah lho, pikirku. Ha ha ha. Waktu aku sekolah dulu, standar kelulusan minimal adalah 6, atau 60. Jadi jika nilaiku 80, atau 85, maka itu sudah bagus, atau bahkan bagus sekali.


Lalu salah siapa sekarang jika ada sekolah yang menetapkan KKM 77-80 dan anak dengan nilai raport yang bertebaran angka 80 ke atas lalu disebut 'kurang' dan 'terlalu mepet dengan nilai minimal' kemudian orang tuanya yang mengambil raport diomeli habis- habisan seakan- anak benar anak itu klasifikasinya 'anak yang kurang'?


Da da da da da..aku bersenandung dalam hati. Mensyukuri bahwa anak tengahku tadi tak ikut ke sekolah sehingga tak mendengar semua celaan tak berdasar itu.


Tak apa mas, dalam hati aku berkata pada anakku. Mari kita hadapi dunia. Dan kita lihat nanti, beberapa tahun lagi, kita buktikan sebenarnya bahwa mas berkualitas bintang.


Dunia begini luas. Akan ada tempat dimana mas akan bisa mengeluarkan potensi dan bisa jelas tampak cemerlang...

p.s. tulisan ini dibuat sebagai tanda solidaritas bagi para anak unik yang seringkali tak dipahami dunia dan dinilai dengan standar sempit serta menjatuhkan harga dirinya..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun