Nah, jika anakku tidak merasa bahagia dengan masuk regu olimpiade dan memilih untuk leyeh- leyeh di rumah menikmati beragam novel dan buku sastra, biar saja, kan?
Kami bukan orang tua yang memaksa anak jadi juara. Sepanjang mereka bahagia dan sejahtera, itu sudah cukup bagi kami.
Biarlah mereka menentukan sendiri. Itu hidup mereka. Merekalah yang lebih berhak menentukan, apa yang baik untuk diri mereka sendiri. Bukan kami.
Walau fisiknya masih kecil, anak- anak adalah manusia utuh yang memiliki hak sepenuhnya untuk berpendapat dan memilih jalan sendiri. Tentu sepanjang jalan itu sesuai dengan koridor dan nilai- nilai hidup yang kami ajarkan pada mereka, bukan tanpa batas sama sekali.
Tapi dibalik kesantaian macam itu, kami juga bersedia mendukung saat anak kami menginginkan sesuatu yang baik, demi kemajuannya.
Suamiku pernah suatu malam membuat sendiri pigura untuk kanvas yang diperlukan mendadak oleh anak sulung kami yang baru saja mendapat kabar terpilih mengikuti lomba pelajar teladan dan selain test akademik, akan ada kegiatan lain menyangkuti seni. Anakku memilih untuk melukis di atas kanvas dengan cat minyak.
Ayahnya yang baru saja tiba dari kantor, tanpa banyak bicara, menggunting kanvas yang memang tersedia di rumah, mencari bilah- bilah kayu dan membuatkan frame agar kanvas tersebut bisa dibawa si sulung ke sekolah keesokan paginya.
***
Kendati tak terlalu ambisius, di pihak lain, kami pantang merendahkan anak.
Bahkan jika tampaknya mereka tak akan memenangkan kompetisi atau tak bisa mencapai keinginannya, kami ijinkan mereka mencoba.
Tak ada yang tak mungkin. Tak pernah ada yang percuma. Semua akan ada pelajaran yang bisa diambil.