Anakku memandangiku dengan agak ragu. Dia tahu, walau aku berjanji akan mendoakan, tak berarti aku sepenuhnya menyetujui. Dia tahu bahwa ada opsi lain yang kuanggap lebih baik daripada hal yang dia pilih itu.
Dan...
Dia terpaksa mengeluarkan 'jurus pamungkas".
" Gini deh, aku mau bilang sama yangti, biar yangti berdoa supaya ibu setuju jadi mau doain aku... "
Yangti yang dimaksud adalah neneknya. Ibuku.
Aku tertawa. Kukatakan begini padanya, " Nah, daripada repot- repot begitu, kenapa nggak minta yangti doain mbak aja, biar berhasil dapat yang diinginkan itu? "
Anakku menatapku dengan serius dan berkata, " Nggak bisa begitu, ibu. Doa yang dikabulkan itu, doa ibu untuk anaknya. Jadi aku mau minta yangti doain biar ibu setuju supaya ibu mau doain aku sepenuh hati... "
Itu yang dipercayai anakku. Sore itu, seusai dia bicara denganku, ditekannya tombol- tombol telepon. Dia menghubungi ibuku yang tinggal di kota yang berlainan dengan kami, " Yangti, " katanya, " Yangti bisa bantu aku nggak, tolong doain supaya ibu mau doain aku... "
Waduh. Ha ha ha. Logika anakku benar, ya? Ibunya ibu, kan lebih 'kuat' daripada ibu? Ha ha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H