Kubiarkan dia mendaftar. Kukatakan persetujuanku. Tapi, doaku setengah hati. Atau kadang- kadang, walau tak menghalangi, aku tidak berdoa khusus untuk itu. Kubiarkan saja semua berjalan apa adanya.
Lalu belakangan, dia ketahui hal itu, sebab aku membocorkannya, lama sesudah itu. Bahwa sebetulnya aku tak berdoa khusus.
" Ibuuu, " katanya, " Jadi itu sebabnya aku nggak bisa dapat... "
Aku tersenyum saja. "Tuduhan" semacam itu sudah beberapa kali kuterima dari para kerabat yang tahu bahwa anakku sedang mendaftarkan diri untuk kompetisi tersebut. Dia melaju sampai beberapa tahap dan gugur di tahap terakhir. Semua bertanya- tanya, apa sebabnya. Banyak yang heran, apa yang bisa menggugurkan dia di tahap ujung seperti itu.
Sampai ketika mereka melihat aku tenang- tenang saja dan tak menunjukkan rasa kecewa, adik iparku mulai curiga dan bertanya, " Mbak,sebetulnya mbak setuju nggak kalau dia pergi ? "
Waktu aku berkata, " Sebetulnya nggak terlalu. Aku lebih ingin dia sekolah disini dulu saja. Nanti saja kalau mau ke luar negeri, waktu ambil Master. "
Whaaaaa... semua yang ada di situ berkomentar, " Pantesan. Ibunya nggak ngasih, ternyata! Itu sebabnya dia gagal... "
Hmmmmm.
Betul ya begitu?
Aku tak tahu. Aku lebih berharap bahwa bukan aku penyebab anakku tak bisa memperoleh sesuatu. Aku berharap dia hanya tertunda mendapatkannya sebab memang Sang Maha Tahu memutuskan begitu karena ada hal lebih baik yang bisa diperolehnya dengan tidak mendapatkan kesempatan itu.
Tapi begitulah, waktu anakku akhirnya mendengar cerita itu, dia tercengang dan berkata, " Ibuuuuu.. ya ampuuunnnn.. pantesan aku nggak bisa dapat, ibuuuuu... "