Saat aku harus dioperasi usus buntu. Saat kesedihan besar melandaku sebab aku keguguran. Saat...
Ada banyak saat lain.
***
[caption id="attachment_270848" align="aligncenter" width="297" caption="Gambar: www.icompositions.com"]
Aku tumbuh menjadi perempuan dengan gaya yang berbeda dengan ibu. Sejak kecil, remaja, hingga menikah dan menjadi seorang ibu, gayaku jelas tak sama dengan gaya ibuku. Tapi, itu tampilan luarnya saja. Sebab deep inside, aku mewarisi banyak faham dan banyak hal yang diajarkan ibuku.
Dan oh, walau tingkah laku dan gerak- gerikku tak serupa dengan ibu, tapi putriku, yang justru lebih mirip tingkah laku dan gerak geriknya dengan ibuku daripada aku, ternyata juga percaya bahwa apapun yang diinginkan dan dilakukannya hanya akan bisa berhasil jika aku merestui dan mendoakannya.
Jika dia sedang memperjuangkan sesuatu yang besar, ujian, atau mengikuti kompetisi, atau mencoba mendaftar untuk beasiswa, yang pertama akan didatanginya adalah aku. Dia akan menyampaikan padaku apa yang sedang dia upayakan capai dan memintaku untuk mendoakannya.
Pasal mendoakan itu, putriku itu pernah sampai berulangkali meminta aku mendoakannya.
Bukan apa- apa, dia tahu, kadang- kadang aku memiliki pendapat sendiri tentang dia. Walau kusadari sepenuhnya bahwa dia lebih berhak dari aku untuk menentukan hidupnya, tapi tak bisa kuhindari bahwa aku juga memiliki harapan dan keinginan terhadap anakku itu. Yang adakalanya walau tak bertentangan tapi tak selalu persis sama. Yang walau tak hendak menghalangi, tapi kadangkala masih tak terlalu menyetujui tentang jangka waktunya.
" Nanti saja... " kataku suatu kali ketika dalam usia sangat belia dia ingin mencari beasiswa untuk bersekolah di luar negeri. " Nanti saja, sekolah disini dulu sampai lulus sarjana, setelah itu cari beasiswa. "
Dia tetap ingin. Tak kuhalangi keinginannya.