Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengurusan Passport, Bisakah Tanpa Akte Kelahiran?

5 Mei 2013   19:35 Diperbarui: 4 April 2017   16:53 3925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13677565541824788950

Tentang syarat pengurusan passport...

KUPUTUSKAN menulis artikel ini di Kompasiana, sebab aku tahu, ada beragam profesi yang disandang para Kompasianer, ada berjuta pengalaman berbeda, dan ada banyak pengetahuan dalam diri masing- masing.

Jadi semoga, kudapatkan solusinya.

Kegembiraan masih terasa diantara kami semua, ketika pembicaraan tentang rencana berangkat umroh bersama tiga orang asisten rumah tangga dibahas. Informasi tentang paket umroh yang beragam mulai dicari. Jadwal- jadwal liburan juga dikumpulkan. Maklumlah, ada empat orang 'anak sekolah' dalam keluarga kami: suami dan tiga orang anak kami. Dan itu artinya melibatkan jadwal di empat level pendidikan yang berbeda, dua perguruan tinggi yang berbeda, dan dua sekolah yang juga berlainan.

Suami juga harus mengurus cuti ke kantornya ( dia mengambil program Doktor sambil tetap bekerja ). Aku juga perlu mengajukan cuti, walau bagiku pengurusan soal cuti ini akan relatif mudah.

Para asisten rumah tangga akan perlu dibuatkan passport.

Lalu... telepon berdering.

Ibuku yang tinggal di kota lain menyampaikan berita bahwa si mbak yang ada di rumah ibu sudah diantar ke kantor imigrasi tapi belum bisa mendaftar sebab salah satu syarat pengurusan passport adalah memiliki akte kelahiran.

Nah lho !

Para asisten rumah tangga yang kami bicarakan ini bukan bocah kinyis- kinyis berusia belasan tahun. Mereka semua telah ikut kami lamaaaaa sekali. Dua orang yang ada di rumahku dulu adalah pegawai ibuku ketika ibu masih menjalankan usahanya, ketika aku masih bersekolah, jauh sebelum aku sendiri menikah.

Jadi usia mereka tidak lagi muda. Jangankan akte lahir, sebenarnya bahkan tanggal lahirpun mereka tak tahu.

Aku masih ingat betul, ayahku dulu selalu setengah kesal setengah geli jika berurusan dengan para petugas kelurahan. Ibu dulu memiliki usaha dengan pegawai yang cukup banyak jumlahnya. Dan hampir semua dari para pegawai yang berasal dari desa itu tak tahu tanggal lahirnya sendiri. Karenanya, setiap kali mengurus KTP mereka, ayahku mengosongkan kolom tanggal lahir.

Dan selalu akhirnya formulir itu dikembalikan oleh pihak kelurahan, dengan alasan kolom tanggal lahir harus diisi.

Ayahku pernah mencoba berdebat, dengan mengatakan bagaimana cara mengisi sesuatu yang tak diketahui?

Perdebatan sia- sia sebab petugas kelurahan senantiasa menjawab: pokoknya harus diisi. Lalu: sudahlah, diisi dengan tanggal berapa saja.

Ayahku yang agak kesal sebab diminta mengarang tanggal di kolom formulir KTP, akhirnya mengisi tanggal 29 Februari sebagai tanggal lahir pegawai kami. Yang lalu mengakibatkan... formulir tersebut ditolak lagi!

Petugas kelurahan saat itu memberi alasan jika diisi 29 Februari nanti akan ada kebingungan saat perpanjangan KTP, sebab tanggal 29 Februari itu adanya empat tahun sekali.  Lelah menghadapi aturan yang kaku itu, ayahku akhirnya meminta agar tanggal lahir para pegawai diisi saja sendiri oleh petugas kelurahan. Terserah mereka, hendak apa isinya.

Jadi begitulah mulanya. Tanpa upacara selametan dengan kehadiran bubur merah- bubur putih, para pegawai orang tuaku masing- masing memiliki tanggal kelahiran baru yang ditetapkan oleh petugas kelurahan di lokasi kami tinggal.

Urusan tanggal lahir selesai.

[caption id="attachment_252258" align="aligncenter" width="399" caption="Gambar: www.123rf.com"][/caption]

Kini tanda tangan.

Ada kejadian lucu tentang hal ini. Ketika itu, KTP juga masih dipaksakan 'harus bertanda tangan' walau opsi untuk cap jempol sebetulnya ada. Para pegawai kelurahan menghendaki semua pegawai -- yang beberapa diantaranya ketika baru datang mulai bekerja masih buta huruf -- untuk paling tidak bisa menuliskan namanya sendiri di kolom tanda tangan KTP.

Jadilah mereka semua kursus menulis cepat. Khusus untuk menuliskan nama sendiri.

Beberapa berhasil, beberapa tidak. Tak perduli bagaimanapun cara mengajarkannya, ada yang tetap tidak bisa menuliskan namanya sendiri.

Dan.. kehebohan terjadi.

Orang tuaku tentu saja tahu, siapa yang akhirnya bisa dan siapa yang tak bisa menuliskan namanya. Lalu kedapatan bahwa salah seorang dari mereka yang tak bisa menulis nama itu, di kolom tanda tangan KTP-nya ada namanya dalam tulisan tangan. Usut punya usut, sebab merasa sungkan jika yang lain bisa mengisi kolom tanda tangan dengan nama masing- masing, pegawai yang satu ini meminta bantuan pada pegawai lain yang sejak awal memang bisa membaca dan menulis untuk.. menandatangani KTP-nya !

Bisa dibayangkan bagaimana reaksi orang tuaku mendapati hal tersebut. Ya kesal, ya ingin tertawa. Sudahlah tanggal lahir harus dikarang, kini tanda tanganpun dibuatkan orang. Ya ampun !

***

Dan kini, bukan hanya KTP, tiga orang asisten rumah tangga kami akan membutuhkan passport.

Mereka semua tak punya akte kelahiran.

Bagaimana, ya?

Tadi aku coba googling, konon di beberapa kantor imigrasi, akte kelahiran bisa diganti dengan ijazah.

Yang juga jelas mereka tak punya.

Ada lagi keterangan, konon, bisa diganti dengan akte perkawinan. Dua diantara mereka pernah menikah. Yang satu suaminya sudah meninggal, yang satu lagi, suami entah berada dimana, tak jelas keberadaannya. Tapi kemungkinan besar memiliki surat nikah.

Namun mbak S, asisten rumah tangga kami yang justru menjadi awal mula kenapa kedua asisten rumah tangga lain akan juga Insya Allah diberangkatkan umroh, si mbak yang khusus didoakan di depan Ka'bah oleh anak bungsuku dua tahun yang lalu agar suatu hari kelak bisa beribadah umroh bersama kami, tak memiliki surat nikah. Sebab dia memang tak pernah menikah.

Dulu justru dia pergi jauh meninggalkan desanya lalu bekerja pada ibuku karena pertunangannya putus di tengah jalan. Rencana pernikahan bubar. Barang- barang semacam lemari dan beberapa barang lain yang sudah diberikan oleh calon suami padanya, dia kembalikan. Kekusutan kisah cinta itu ingin dia tinggalkan di belakang dengan pergi ke tempat yang jauh.

Begitulah hingga akhirnya beberapa tahun dia bekerja pada ibu dan kemudian saat aku menikah lalu tinggal di kota lain, mbak S ditawari ibu apakah dia bersedia ikut denganku. Mbak S bersedia, dan masih tinggal bersama kami hingga saat ini.

Aku sudah bertekad dalam hati untuk memenuhi janji, mengajak mbak S dan kedua rekannya yang lain untuk berangkat umroh. Jadi urusan passport ini harus bisa diatasi.

Nah, maka... kutulis artikel ini. Dengan harapan, jika diantara kawan- kawan Kompasianer yang tahu bagaimana solusi pembuatan passport saat yang bersangkutan tak memiliki akte kelahiran, tak punya ijazah selembarpun dan tak pernah menikah, kawan- kawan bersedia memberikan informasi di kolom komentar artikel ini.

Terimakasih banyak ya, sebelumnya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun