Topik apakah Sinterklaas benar ada atau tidak ada untuk beberapa saat setelah itu menjadi bahan perdebatan yang tak pernah selesai bagi kami berdua.
Kelak setelah dewasa, kupahami mengapa orang tua kawanku itu memilih untuk memberitahu anak- anaknya bahwa Sinterklaas itu tidak ada. Keputusan yang dapat dipahami berdasarkan situasi mereka saat itu. Ada enam anak dalam keluarga tersebut. Mereka juga tak punya pembantu. Jadi bisa kubayangkan repotnya ibu kawanku itu dalam kesehariannya. Karenanya beliau tentu harus menentukan prioritas, dan bisa dimengerti bahwa menyediakan kado dari Sinterklaas tampaknya tidak masuk ke dalam daftar prioritasnya.
Sementara orang tuaku sendiri, walau kami sendiri tak merayakan Natal, memilih untuk memanjakan fantasi anak- anak tentang adanya Sinterklaas serta menyenangkan kami anak- anaknya dengan memberikan hadiah di akhir tahun, sekaligus menyampaikan pesan- pesan dan harapan mereka bagi kami melalui Sinterklaas yang hadir di lingkungan kami tersebut.
Dan sungguh aku merasa beruntung karenanya. Kesenangan mendapatkan kado dari Sinterklaas itu, bahkan masih kuingat dan kurekam sebagai salah satu kenangan manis dari masa kecilku hingga saat ini, berpuluh tahun kemudian...
p.s. Selamat Natal bagi kawan- kawan yang merayakannya. Selamat berbahagia dan bersuka cita bersama keluarga...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI