Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kepemimpinan Transformatif: (adalah) Karakter Diri - 1

16 November 2012   12:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:14 893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1353069108856440985

* Tulisan ini dibuat oleh blogger tamu: Wiwit, 16 tahun

Pemimpin yang baik dilahirkan sebagai seorang pemimpin, bukan dibentuk. Benarkah? Tetapi, bukankah setiap manusia memang ditakdirkan untuk menjadi seorang pemimpin? Setidaknya pemimpin untuk dirinya sendiri. Mempelajari, mengetahui, mengerjakan. Memilih apa yang harus dikerjakan dan apa yang tidak. Menentukan sikap diri terhadap apa yang terjadi. Itu yang dilakukan seorang pemimpin, bukan? Berarti seharusnya di dunia ini terdapat banyak pemimpin yang baik, kan?

Lalu, melihat keadaan saat ini, apakah hal tersebut benar adanya? Sudahkah para pemimpin yang transformasional muncul ke permukaan?

[caption id="attachment_216669" align="aligncenter" width="462" caption="Gambar: maheshbaxi.squarespace.com"][/caption]

Sebelumnya, mengenai kepemimpinan transformasional. Apa itu? Kepemimpinan yang transformasional adalah sebuah sistem kepemimpinan modern. Proses ini tidak terjadi dengan paradigma lama bahwa seorang pemimpin harus dihormati, ditaati -- dilihat dari sudut pandang bawahan. Pemimpin yang transformatif dapat menjadikan dirinya sebagai pusat dari sebuah organisasi kepemimpinan dengan sendirinya; dengan karakteristik diri sebagai kuncinya.

Seorang pemimpin harus mengutamakan kepentingan umum dibandingkan dengan kepentingannya sendiri. Seringkali kita mendengar kalimat tersebut. Hanya saja, sudahkah para pemimpin merealisasikan hal tersebut? Atau adakah masalah lain: bagaimana cara membawa hal tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari?

Banyak orang yang berpikir seperti ini: Ketika saya sudah sukses, saya akan... Dengan hal-hal baiklah yang melengkapi niat itu, seakan hal tersebut dilakukan untuk 'membayar' keberhasilannya. Adalah hal yang baik untuk membagi kebahagiaan yang kita miliki, akan tetapi, mengapa harus menunggu mendapatkan apa yang diinginkan terlebih dahulu dan baru melakukan sesuatu untuk orang lain setelahnya? Bukankah hal tersebut menunjukkan bahwa kepentingan sendirilah yang paling penting? Padahal, biasanya sudut pandang tersebut dimiliki dan diutarakan oleh orang-orang yang telah memiliki tujuan jelas semenjak muda, yang notabene adalah para calon pemimpin.

Kalau saja pusat pemikirannya sedikit diubah, itu akan membawa dampak yang lebih dari sekadar sedikit. Apabila seorang pemimpin benar-benar ingin mengutamakan kepentingan orang lain, ia dapat melakukannya sebelum -- dan selama -- ia berusaha mencapai keinginannya.

Hal baik tak hanya bersumber dari uang dan status atau jabatan, kan? Memang tak dapat dipungkiri bahwa ketiga hal tersebut berpengaruh pada apa yang dapat kita berikan, tetapi masih ada sisi lain yang dapat ditelaah lebih jauh.

Setiap orang memiliki kemampuan masing-masing: tenaga, ilmu dan waktu yang dapat disalurkan. Oke, waktu memang tidak dapat disalurkan, namun dapat kita jalani dengan pekerjaan yang kita pilih sendiri. Membuka sebuah perpustakaan untuk anak-anak atau kelas pendidikan dini seminggu sekali. Pelatihan keterampilan umum dan khusus bagi warga daerah yang selama ini kurang produktif. Tidak terlalu sulit sebenarnya.

Tetapi jangan pula lupa pada kepentingan sendiri. Diam untuk diri sendiri, bergerak untuk orang lain. Seharusnya tidak usahlah seperti itu. Apakah kita rela diri kita diinjak oleh orang lain? Seorang pemimpin semestinya melakukan keduanya.

Pemimpin yang transformatif dapat sejak awal menggeser sudut pandangnya tersebut. Bukan berarti plin-plan. Tapi seorang pemimpin sejati dapat dengan lapang dada mengakui bahwa ia bisa salah. Mengakui kesalahan bukan berarti sebuah kekalahan. Dari awalnya diri sendiri sebagai pusatnya, menyebar menjadi sisi lingkaran yang luas. Bukankah sebuah lingkaran yang dapat berputar juga bergantung pada porosnya?

Hanya satu poin yang perlu diingat: ikhlaskah saat melakukannya? Jangan sampai itu dilakukan tak lain untuk mendapatkan simpati dan nama baik di kalangan masyarakat. Ketika masih berada di bawah rajin dan semangat menjadi tumpuannya. Tetapi saat sudah mencapai puncak, semua dilupakan. Lupa diri. Dan saat itu terjadi, saat satu dan lain hal terjadi kemudian, saat keadaan di bawah menjumpainya lagi, apa yang dilakukan? Menyalahkan keadaan. Apakah itu seorang pemimpin yang baik? Yang transformatif?

( bersambung ke bagian kedua disini )

p.s:

Wiwit, kini 17 tahun, mahasiswi Fakultas Teknik di sebuah PTN. Tulisan ini dibuat untuk sebuah lomba karya tulis saat usianya 16 tahun dan duduk di bangku SMA .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun