Pemimpin yang transformatif dapat sejak awal menggeser sudut pandangnya tersebut. Bukan berarti plin-plan. Tapi seorang pemimpin sejati dapat dengan lapang dada mengakui bahwa ia bisa salah. Mengakui kesalahan bukan berarti sebuah kekalahan. Dari awalnya diri sendiri sebagai pusatnya, menyebar menjadi sisi lingkaran yang luas. Bukankah sebuah lingkaran yang dapat berputar juga bergantung pada porosnya?
Hanya satu poin yang perlu diingat: ikhlaskah saat melakukannya? Jangan sampai itu dilakukan tak lain untuk mendapatkan simpati dan nama baik di kalangan masyarakat. Ketika masih berada di bawah rajin dan semangat menjadi tumpuannya. Tetapi saat sudah mencapai puncak, semua dilupakan. Lupa diri. Dan saat itu terjadi, saat satu dan lain hal terjadi kemudian, saat keadaan di bawah menjumpainya lagi, apa yang dilakukan? Menyalahkan keadaan. Apakah itu seorang pemimpin yang baik? Yang transformatif?
( bersambung ke bagian kedua disini )
p.s:
Wiwit, kini 17 tahun, mahasiswi Fakultas Teknik di sebuah PTN. Tulisan ini dibuat untuk sebuah lomba karya tulis saat usianya 16 tahun dan duduk di bangku SMA .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H