Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tak Semua Orang Bisa Ditipu (Atau Tertipu)

29 Oktober 2012   13:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:15 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1351523744935721410

Adasuatu masa ketika aku pernah (dan terpaksa) menjadi ‘penipu’.

INI kisahku ketika  menjadi penipu...

Penipuan di dunia nyata terjadi bertahun- tahun yang lalu, ketika aku KKN di sebuah desa terpencil.Desa itu terbagi atas dua dusun, yang dihuni masing-masing mayoritas Kristen dan Islam. Di desa itu kami, aku dan 11 teman (semuanya laki-laki) mendapat beberapa kejutan yang tak terlupakan.

Kejutan budaya pertama, desa itu ternyata tidak mengenal apa yang disebut sebagai WC. Selama puluhan tahun, jika hendak buang hajat mereka memilih memanfaatkan pemberian Sang Pencipta yang sekaligus merupakan WC terpanjang di dunia: tepi pantai. Satu-satunya WC berada di SD Inpres, yang sering kami gunakan. Untunglah tempatku menginap (untuk penginapan kami disebar ke rumah penduduk) relatif dekat dengan SD Inpres, jadi masih sempat jika ‘kepingin’. Teman lain yang penginapannya jauh, jika udah kebelet terpaksa meneladani perilaku masyarakat desa. Yakni menyusup di balik bakau mencari lokasi yang menyenangkan, sembari berdoa dalam hati semoga gak ada mahkluk laut yang ‘iseng’ dan kemudian menusuk atau menggigit….

Di desa itu hanya ada tiga sumur air tawar yang digunakan masyarakat untuk keperluan rumah tangga. Dan di sumur itu kami kembali menghadapi kejutan budaya, setelah menyadari kalau kami terpaksa mandi bareng dengan masyarakat. Tak hanya dengan sesama pemuda dan bapak-bapak, tapi juga para gadis dan ibu-ibu muda!!.

Tentu saja para gadis dan ibu muda itu mandi pake kain. Namun selalu ada momen tertentu ketika mata muda kami yang tajam dan terlatih ‘tanpa sengaja’ melihat pemandangan indah yang sebenarnya tidak boleh kami lihat. Beberapa ibu muda sebelum mandi biasanya mencuci baju dulu. Setelah kaos yang dikenakan basah, baru kelihatan kalau ternyata mereka tidak….

Melihat kondisi desa, kami memutuskan untuk membangun WC dan kamar mandi umum. Kami pun menggalang dana.

Salah satu aksi dana adalah menggelar semacam Kantin Suara. Di kantin itu kami menjual kupon, dan masyarakat yang membeli kupon bisa memesan lagu kepada kami. (Sekalipun tergolong terpencil, desa itu relatif stabil dari sisi ekonomi. Rata-rata rumah di sana dari beton dan hanya sebagian kecil yang dari kayu).

Setelah dua hari menggelar Kantin Suara, barulah kami sadar kalau selera lagu kami berbeda dengan masyarakat. Koleksi lagu yang kami siapkan melalui kaset dan VCD ternyata tidak disukai. Masyarakat justru sering memesan lagu yang menurut kami ‘cengeng dan tidak bermutu’.

[caption id="attachment_213730" align="aligncenter" width="288" caption="Painting by Noreen Channels. Source: lvsonline.com"][/caption]

Di malam ketiga, kami memutuskan untuk melayani masyarakat secara manual, menggunakan gitar. Kebetulan ada beberapa teman yang bisa nyanyi dan hafal banyak lagu ‘tempo doeloe nan cengeng’. Karena bisa main gitar, aku kebagian peran sebagai pengiring. Kadangkala jika lagi sepi aku ‘nekat’ bernyanyi, berpura-pura menjadi Mick Jagger dan menyanyikan beberapa lagu Rolling Stones yang kuhafal, diselingi lagu melankolisnya Air Supply seperti ‘Making Love Out of Nothing At All’, beberapa lagu Bon Jovi, Dewa dan Kla.

Suatu malam, muncul Sekretaris Desa yang mendekatiku. “Bapak KKN, saya memesan lagu ‘Send me the pillow’…”

Aku ternganga. “Send me the pillow?”

“Iya. Yang nadanya seperti ini… na…na…na…” balas si Sekdes bersenandung.

Rupanya, karena sering menyanyi lagu Barat, pak Sekdes menyangka kalau aku pakar dalam urusan lagu berbahasa Inggris. Dia pun meminta aku menyanyikan lagu itu. Sayang ada satu masalah ‘kecil’. Aku tidak hafal liriknya. Aku tentu saja pernah dengar lagu itu, namun lagu semacam itu tidak termasuk dalam daftar lagu Barat yang harus kuhafal liriknya.

Sempat muncul pikiran untuk menolak permintaan. Namun melihat tatapan mata pak sekdes yang penuh harap, aku tak tega untuk menolak permintaannya. Apalagi, di desa itu kami sudah terlanjur dianggap sebaga “bapak-bapak KKN yang tahu segalanya”. Kami diundang menjadi ‘guru tamu’ di SD Inpres. Teman yang Kristen menjadi Guru Sekolah Minggu dan yang Muslim terlibat dalam acara pengajian. Ada teman yang menjadi guru vokal dan pelatih vokal grup, ada yang menjadi pelatih grup Qasidah bahkan ada yang menjadi pelatih tinju!!!

Aku memutuskan menerima permintaan pak sekdes. Aku pun bernyanyi: Send me the pillow that you dream on (kebetulan hanya itu yang kuhafal). Dan kata-kata selanjutnya aku asal comot aja berwas-wis- wos mengikuti irama lagu. Aku gak tahu persis apa makna kata-kata yang secara acak kumasukkan ke dalam nyanyian. Yang pasti, begitu usai, pak sekdes bertepuk tangan kegirangan. Juga warga yang menyaksikan.

Sejak itu, setiap malam pak Sekdes memesan lagu, satu-satunya lagu: Send me the pillow. Dan aku dengan percaya diri bernyanyi, dengan lirik bahasa Inggris apa saja yang muncul di benak.

Suatu ketika, usai dengan sukses membawakan Send me the pillow, seorang teman KKN mendekatiku dan bilang,” Kamu pintar kumur ya?”

“Kumur?” balasku tak paham.

“Iya.Kumur. Kamu tadi menyanyi sambil kumur kan? Asal cuap?”

“Ah, bagaimana kamu tahu?” jawabku sedikit tersipu. Sejak malam pertama, rasa-rasanya tak ada yang curiga kalau aku asal comot aja.

“Hanya kebetulan,” jawab si teman. “Kebetulan aja aku kuliah di sastra Inggris. Di fakultasku, jika ada orang yang asal ngomong bahasa Inggris kami menyebutnya sedang kumur…” ujarnya sambil mengedipkan mata.

Aku tertawa dan meminta dia merahasiakan ini. Si teman, demi persatuan dan keamanan bangsa, setuju.

Begitulah, hingga Kantin Suara ditutup, penduduk menyebut aku sebagai ‘bapak KKN yang jago lagu Barat’ karena selain Sekdes aku juga menerima order dari banyak masyarakat. Sama seperti kasus the pillow, aku tak lagi memikirkan tepat tidaknya lirik. Yang penting nadanya. Yang penting aku tampil meyakinkan!!

Dana yang didapat dari kantin, ditambah usaha lain akhirnya bisa dijadikan modal mendirikan empat buah WC dan kamar mandi, yang diterima masyarakat dengan sukacita.

Dan akhirnya tibalah saatnya kami meninggalkan desa itu. Sampai sekarang pemandangan itu masih terbayang. Ketika seluruh masyarakat, tua muda, besar kecil (termasuk pacar-pacar kami. Dari 12 orang hanya 2 orang yang gak sempat pacaran dengan kembang desa karena pacar mereka dari kota rutin mengunjungi) berdiri di tepi pantai, dengan air mata berlinang, melambaikan tangan ke arah kami.

Sesaat sebelum berpisah pak Sekdes menyalami dan memeluk aku.

“Ah, kapan lagi pak KKN menyanyikan lagu Send me the pillow untukku…” begitu bisiknya.

Aku terdiam dan tercekat. Kalau saja dia tahu…

***

Dalam hidup, mungkin banyak di antara kita yang dihadapkan pada posisi dilematis dan terpaksa melakukan penipuan, atau pembohongan. Dan mungkin aksi yang kita lakukan begitu meyakinkan sehingga banyak orang yang terperdaya dan tertipu. Namun berkaca dari pengalaman yang aku alami, penipuan itu tak akan abadi, karena dari sekian banyak yang tertipu, akan ada satu dua yang matanya awas. Yang bisa melihat dengan jernih. Yang tak bisa ditipu oleh mulut manis nan penuh madu.

Dan, tentu saja, kita tak bisa menipu Dia yang Maha Mengetahui. Yang tahu apapun yang kita lakukan.

Jadi,  Anda masih ingin menjadi penipu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun