“Hanya kebetulan,” jawab si teman. “Kebetulan aja aku kuliah di sastra Inggris. Di fakultasku, jika ada orang yang asal ngomong bahasa Inggris kami menyebutnya sedang kumur…” ujarnya sambil mengedipkan mata.
Aku tertawa dan meminta dia merahasiakan ini. Si teman, demi persatuan dan keamanan bangsa, setuju.
Begitulah, hingga Kantin Suara ditutup, penduduk menyebut aku sebagai ‘bapak KKN yang jago lagu Barat’ karena selain Sekdes aku juga menerima order dari banyak masyarakat. Sama seperti kasus the pillow, aku tak lagi memikirkan tepat tidaknya lirik. Yang penting nadanya. Yang penting aku tampil meyakinkan!!
Dana yang didapat dari kantin, ditambah usaha lain akhirnya bisa dijadikan modal mendirikan empat buah WC dan kamar mandi, yang diterima masyarakat dengan sukacita.
Dan akhirnya tibalah saatnya kami meninggalkan desa itu. Sampai sekarang pemandangan itu masih terbayang. Ketika seluruh masyarakat, tua muda, besar kecil (termasuk pacar-pacar kami. Dari 12 orang hanya 2 orang yang gak sempat pacaran dengan kembang desa karena pacar mereka dari kota rutin mengunjungi) berdiri di tepi pantai, dengan air mata berlinang, melambaikan tangan ke arah kami.
Sesaat sebelum berpisah pak Sekdes menyalami dan memeluk aku.
“Ah, kapan lagi pak KKN menyanyikan lagu Send me the pillow untukku…” begitu bisiknya.
Aku terdiam dan tercekat. Kalau saja dia tahu…
***
Dalam hidup, mungkin banyak di antara kita yang dihadapkan pada posisi dilematis dan terpaksa melakukan penipuan, atau pembohongan. Dan mungkin aksi yang kita lakukan begitu meyakinkan sehingga banyak orang yang terperdaya dan tertipu. Namun berkaca dari pengalaman yang aku alami, penipuan itu tak akan abadi, karena dari sekian banyak yang tertipu, akan ada satu dua yang matanya awas. Yang bisa melihat dengan jernih. Yang tak bisa ditipu oleh mulut manis nan penuh madu.
Dan, tentu saja, kita tak bisa menipu Dia yang Maha Mengetahui. Yang tahu apapun yang kita lakukan.