Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Ketika Sang Remaja Siap Terbang Meraih Cita ( dan Galaunya Hati Orang Tua )

11 Juni 2012   03:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:08 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13393832771010860274

[caption id="attachment_187225" align="aligncenter" width="501" caption="Gambar: www.nationalgeographicstock.com"][/caption]

Dee tersenyum geli dalam hati...

KESIBUKAN tampak di sebuah rumah, dimana Dee berada saat itu. Cintya, keponakan Dee, anak sulung di rumah itu, sedang memasukkan beberapa buah map ke dalam tasnya.

“ Kak, “ Prameswari sang ibu berkata, “ Sudah lengkap semua yang ada di check list?”

Cintya mengangguk. Sekilas Dee melihat kilatan tawa dalam mata gadis remaja itu. Mudah ditebak, tampaknya pertanyaan tersebut telah diulang beribu kali oleh sang ibu.

“ Perlu ibu bantu periksa ? “

Kilat di mata itu berubah menjadi tawa sungguhan kini.

“ Nggak usah ibu, sudah lengkap. “

Prameswari mengangguk. Tapi lalu setelah itu berkomentar lagi, “ Kak, benar lho ya, pastikan semua lengkap. Ini kan di luar kota. Kalau ada yang ketinggalan, nanti repot, kakak tidak bisa bolak- balik ke rumah. “

“ Iya, Ibu, “ Cintya tertawa lebar sembari memasukkan map yang dipegangnya ke dalam tas.

Prameswari kembali mengobrol dengan Dee. Di kursi lain, Kuti dan Wirya, ayah Cintya, mengobrol dengan seru. Mudah diduga, topik yang dibahas tak jauh dari Piala Eropa. Kuti yang fans fanatik regu Inggris menyebut- nyebut nama Roy Hodgson, lalu Steven Gerrard. Kemudian ada pembahasan tentang Wayne Rooney yang diskors di dua laga pertama. Disusul dengan diskusi tentang prediksi atas pertandingan antara Inggris dan Perancis .

Dari ruangan lain terdengar suara Pradipta dan Pratama yang sedang bermain kartu. Sementara si kembar Nareswara dan Nareswari bermain di halaman samping, ditemani seorang pengasuh.

Percakapan antara Dee dan Prameswari berganti- ganti topik, antara cerita Dee tentang Pradipta yang baru saja mementaskan drama di sekolahnya, hingga anak salah seorang kerabat yang akan menghadapi test masuk perguruan tinggi.

Sebagian lulusan SMA memang akan menghadapi suatu hal penting di minggu ini. Test masuk perguruan tinggi negeri. Hal yang setiap tahun menjadi puncak upaya dan ketegangan para lulusan SMA serta orang tuanya. Sebagian lagi, termasuk Cintya, beruntung tak perlu mengikuti testing semacam itu sebab telah diterima di perguruan tinggi impian melalui jalur undangan.

“ Kak, “ terdengar lagi suara Prameswari, “ Fotocopy dokumennya dilebihkan dari yang diminta kan? Siapa tahu nanti perlu extra copy. “

“ Iya, sudah, “ jawab Cintya.

Lalu…

“ Kak, jangan lupa lho, dokumen- dokumen mana saja yang aslinya juga mesti dibawa. Akte Kelahiran sudah diambil dari laci ? “

“ Sudah, ibuuu, “ Cintya menjawab setengah tertawa.

Dee menggigit bibirnya menyembunyikan senyum. Tak pelak dia benar- benar akhirnya tersenyum sangat lebar saat mendengar Prameswari berkata,

“ Kak, sini, ibu bacakan check list-nya dan kakak periksa lagi dokumennya… “

Apa yang terjadi itu agak ‘lucu’, walau juga tidak aneh dan telah dapat diduga.

Cintya akan berangkat ke luar kota sebab hari untuk pendaftaran ulang akan segera tiba bagi para lulusan SMA yang telah diterima di jalur undangan. Dan Dee sungguh memahami bahwa dibalik kegembiraan dan kebahagiaan sebab Cintya telah diterima di fakultas teknik seperti yang diidamkan, di sebuah perguruan tinggi yang juga diimpikannya, ada rasa berat di hati sang ibu untuk melepas putrinya pergi.

Cintya dididik untuk mandiri sejak kecil. Orang tuanya mengajarkan dia untuk menyiapkan peralatan sekolahnya sendiri sejak sangat dini. Juga mendisiplinkan dia untuk bertanggung jawab atas segala keperluan sekolah, menyiapkan dan memeriksa apa yang dibutuhkannya sendiri.

Dengan didikan semacam itu bahkan saat duduk di bangku- bangku awal Sekolah Dasarpun Cintya sudah bisa melakukannya dengan baik. Prameswari hampir tak pernah mesti memeriksa lagi hal- hal semacam itu sebab Cintya sudah bisa mengurusnya sendiri. Jadi sungguh lucu sebenarnya melihat Prameswari kini memeriksa kembali dokumen yang telah disiapkan Cintya untuk pendaftaran, di saat dia justru telah tumbuh menjadi remaja mandiri dan ajeg seperti ini.

Tapi Dee sungguh memaklumi itu.

Begitulah memang seorang ibu. Diinginkannya semua yang terbaik bagi anaknya. Diajarkannya hal- hal yang membuat sang anak siap menghadapi dunia. Tapi jauh di dalam hatinya, dia sangat ingin terus bisa mendekap anak itu. Jadi ketika anak hasil didikannya sendiri itu dengan riang gembira siap keluar rumah untuk menghadapi dunia, sang ibu justru bergulat dengan perasaannya sendiri. Antara, tentu saja, memahami dan menghadapi realita bahwa justru inilah saat memetik buah dari apa yang telah dirawat dan diupayakan selama ini dengan beragam keharuan dan rasa ‘tak rela’ dalam hati melihat sang buah hati akan berada jauh dari dirinya.

***

“ Kak, baju- bajunya sudah dipilihi kan? “

“ Sudah, ibu… “

“ Jangan lupa handuk, kak. Ambil saja handuk baru warna coklat di lemari. Ambil sekalian handuk besar dan kecilnya, kalau- kalau nanti perlu.”

“ Ya. “

“ Pakai saja koper yang merah untuk bawa baju nanti. “

Dee melihat Cintya mengangguk.

Prameswari menoleh ke arah dapur. Disana ada Mbok Nah, asisten rumah tangga yang telah bertahun- tahun ikut dengan keluarga itu.

“ Mbok, tinggalkan saja dulu yang di dapur itu. Tolong Cintya dibantu masukkan baju ke koper … “

Dan Dee kembali tertawa lebar ketika terdengar komentar Cintya mendengar kalimat ibunya itu, “ Aku bisa sendiri, ibu… “

Ha ha ha...

Melihat apa yang terjadi, mau tak mau, Dee teringat pada penggalan sebuah lagu tentang perasaan seorang remaja yang yang dinyanyikan dengan indah oleh Susan Boyle, salah seorang penyanyi favorit Dee.

All of my life I have watched you climbing mountains, chasing dreams All of my life you gave me everything but you don't have to give the world to me

Just say you love me as I am, say you want me as I am, say I'm someone in your eyes, that's all I want it to be Oh, just let me go, I know one day if I'm allowed, if I'm allowed, one day I'll make you proud

Dee melirik Prameswari. Dan dia yang peka melihat bagaimana Prameswari dibalik senyum dan beragam pertanyaan serta petunjuk yang diberikan pada anak sulungnya itu sebenarnya juga sibuk menyembunyikan air mata.

Dee mengerti. Sangat mengerti perasaan itu. Dia tahu dia akan mengalami hal yang sama kelak saat Pradipta siap meninggalkan rumah untuk meraih cita- citanya…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun