Aku sendiri memutuskan untuk tidak protes atau mempertanyakan apapun. Sebisanya aku melapangkan hati saja.
Pendek kata, akhirnya kami berhasil masuk ke Raudhah, dan saat kulangkahkan kaki keluar dari sana, kusadari bahwa tengah malam sudah terlewati. Jamku menunjukkan waktu menjelang pukul satu pagi.
Mesjid sedang dibersihkan waktu itu.  Kusadari kemudian bahwa saat berjalan keluar bagian Raudhah, sebagian tempat yang sedang dibersihkan dikurung dengan kain sehingga tak dapat dilewati. Aduh, padahal, sandalku  tadi kutaruh di rak sepatu di bagian yang kini tertutup itu. Kuhampiri tempat itu, tapi petugas disana mengatakan bahwa semua sandal telah dipindahkan ke salah satu rak di dekat pintu masuk tertentu. Dia lalu menyebutkan nomor pintunya
Kucari pintu dengan nomor tersebut. Lumayan membutuhkan banyak waktu untuk menemukan pintu itu, sebab masjid Nawawi adalah masjid yang sangat besar. Tapi untunglah, pintu itu dapat kutemukan. Juga sandalku.
Begitu kutemukan sandal itu, aku bergegas keluar dari pintu itu, turun ke pelataran masjid.
Dan aku terkesiap...
Pelataran yang biasa ramai dengan orang itu ternyata sepi sekali saat lewat tengah malam begitu. Hampir tak ada orang lalu lalang. Ada satu dua orang melintas, tapi... semua lelaki.
Tak kulihat seorang perempuanpun.
Waduh, gawat, pikirku. Bagaimana ini...
Tapi, tak ada pilihan lain. Aku harus pulang ke penginapan. Dengan tak adanya telepon genggam, tak ada cara untuk meminta seseorang menjemputku ke masjid. Jadi, aku harus pulang sendiri.
Kupandangi sekitarku. Kupastikan dulu arah mana yang harus kutempuh, baru kulangkahkan kakiku.