Tak perlu menjadi psikolog atau ahli lukisan untuk dapat membaca apa emosi di balik lukisan tersebut. Sangat tampak bahwa ada seseorang yang tertekan, marah, dan memprotes suatu sistem yang tak kuasa dilawannya.
Kutanyakan, milik siapa lukisan tersebut, dan jawaban yang kuterima adalah bahwa lukisan itu dibuat oleh seorang murid kelas 1 SMP. Anak sangat cerdas yang‘nyeleneh’dan terkucilkan di sekolah sebab dia dianggap gila.
Kawan- kawan mengolok- oloknya, bahkan kadangkala melemparinya dengan batu. Guru- guru tak pula membantu. Mereka sepakat bahwa anak tersebut memang 'gila'.
Orang tua sang anaklah yang kemudian demi kesehatan jiwa anaknya mengajak dia ke sanggar lukis dan membiarkannya melepaskan seluruh emosinya di atas kanvas.
Prihatin. Prihatin.
Aku mengerti dengan baik perasaan anak tersebut, juga orang tuanya,sebab...
***
[caption id="attachment_171065" align="aligncenter" width="383" caption="Sumber gambar: giftedparentingsupport.blogspot.com"]
“ Aduh, enak ya, anaknya pintar- pintar. ..“
Komentar semacam itu bukan sekali dua kali dilontarkan orang kepadaku. Dan aku biasanya hanya tertawa saja menanggapinya.
Ada banyak hal yang aku tak merasa terlalu ingin menerangkan pada orang lain. Atau memilih untuk tidak menerangkan karena tak yakin akan dipahami atau ditanggapi dengan baik. Dalam situasi seperti itu, aku memilih untuk hanya merespons komentar orang lain dengan tawa saja.