[caption id="attachment_170966" align="aligncenter" width="307" caption="Sumber gambar: nfs.norfolk.dbprimary.com"][/caption]
Tentang anak- anak, sekolah, dan ijazah…
SEBELUM melanjutkan cerita tentang sekolah dan ijazah, mari kuperkenalkan terlebih dahulu pemuda cilik di rumah kami, anak tengah penggagas kampanye ‘sekolah itu tidak asyik’ di rumah kami.
Sejak kecil, telah kuamati dia, dan kudapati beberapa hal yang sangat nyata pada dirinya.
Dari cara bicara, celetukan- celetukan dan caranya bergurau, aku sudah bisa melihat lompatan- lompatan cara berpikir yang sangat cerdas.
'Anehnya', dengan kecerdasan semacam itu, justru amat tampak bahwa anakku yang sangat merasa aman dan nyaman di rumah tak selalu merasa begitu di sekolah.
Saat play group, insiden pertama terjadi.
Di tengah masa pelajaran, guru yang biasa mengajarnya ditarik untuk mengajar TK, dan guru play group diganti.
Itu adalah riwayat mogok sekolahnya yang pertama.
Dia bersikeras tak mau sekolah, tak terbujuk, sebab dia merasa tak nyaman dengan guru barunya.
Sampai akhirnya, pendek cerita, pada akhir tahun ajaran, kami mendaftarkan dia ke sebuah TK dimana kakaknya dulu belajar.
Di TK ini, banyak cerita lucu tentang dia.
Yang paling aku ingat adalah ketika pada suatu hari telepon di rumah kami berdering, dan guru TK-nya bicara dengan hati- hati pada kami bahwa bekerja sama dengan BMOG, TK tersebut akan merekam anak- anak dalam sebuah video untuk kenang- kenangan. Anak- anak diminta menyebutkan nama dan cita- cita mereka.
Dan…
Rupanya anakku menyebutkan bahwa cita- citanya adalah ‘menjadi tukang parkir’.
Para guru dan orang tua yang menjadi panitia pembuatan video itu membujuknya dengan beragam cara, termasuk ‘nanti Bapak dan Ibunya malu dong, masa’ anaknya bilang mau jadi tukang parkir’. Anakku, di pihak lain, berkata, jika dia tak diijinkan mengatakan bahwa cita- citanya adalah menjadi tukang parkir, dia tak usah masuk rekaman itu saja.
Ha ha ha.
Jadi begitulah. Ibu guru TK itu menghubungi kami dan bicara soal hal itu.
Telepon yang membuat kami tertawa dan dengan segera menjawab, “ Ya sudah, kalau dia ingin bilang begitu, biar saja dia bilang seperti apa maunya di rekaman itu… “
Ibu guru tersebut agak tercengang dengan jawaban kami dan mengkonfirmasi sekali lagi, apakah kami betul- betul tak keberatan jika anak kami mengatakan bahwa dia ingin jadi tukang parkir ketika kawan- kawannya yang lain menyebutkan hal- hal hebat semacam ingin jadi astronot, mau jadi Doktor, jadi pilot, jadi wartawan, dokter, insinyur, pembalap, pianis dan semacamnya…
Kami katakan, tidak, kami tidak keberatan. Biar saja dia mengatakan semacam itu dalam rekaman yang akan dibuat.
Jadi begitulah, akhirnya anak kami mengatakan hal tersebut dalam rekaman itu, termasuk juga dia menulis hal yang sama saat menuliskan biodata dalam buku tahunan yang akan dibuat dan dibagikan pada seluruh murid.
***
Pasal anakku ‘ingin jadi tukang parkir’ itu rupanya tersebar luas. Sebab pada suatu hari ketika aku mampir ke SD di Yayasan yang sama untuk mengurus sesuatu untuk si sulung, aku bertemu dengan salah satu orang tua yang anaknya seangkaran dengan anak tengahku itu dan menanyakan apa benar kami sama sekali tak keberatan tentang hal tersebut.
Aku dengan tawa lebar menjawab sekali lagi, " Tidak, memangnya kenapa? "
Entahlah, aku tak ingat lagi apa reaksi orang tua yang bertanya padaku itu, tapi aku ingat bahwa saat itu aku sendiri berpikir dengan heran, kenapa sih omongan anak TK berusia lima tahun saja sampai begitu menggemparkan?
Aku sendiri, begitu juga suamiku,  mengerti kenapa anakku menjawab dia ingin jadi tukang parkir saat itu. Sederhana saja. Dia sedang senang main peluit, dan menurut pendapatnya, jadi tukang parkir itu enak, bisa main peluit sepanjang hari, lalu dapat uang…
He he he…
***
Kembali ke urusan sekolah.
Di TK tak terlalu banyak urusan mogok sekolah terjadi. Dia tak termasuk murid yang sangat semangat pergi ke sekolah, anak tengahku ini, tapi juga tidak pernah mogok.
Tapi, di kelas 1 SD, hal tersebut terjadi lagi.
Satu semester pertama, berlalu dengan aman. Semester kedua, dia mulai malas- malasan dan kemudian berulang kali menolak pergi ke sekolah.
Kami mengobrol dengan gurunya, ingin tahu adakah sesuatu yang khusus yang terjadi akhir- akhir ini. Gurunya mengatakan tak ada. Anak kami tak bermasalah dengan pelajaran, tidak ada masalah lain pula yang dapat dideteksi gurunya.
Gurunya bahkan mengatakan bahwa anak kami itu sering menyelesaikan tugasnya lebih cepat dari teman- temannya, dan oleh gurunya, pada saat semacam itu, dia biasanya diijinkan menggambar atau menulis apapun yang dia inginkan di lembaran modul yang kosong sambil menunggu kawan- kawannya selesai mengerjakan tugas.
Dan rupanya, itu pasal mogoknya dia.
Sebab ketika kami bicara dengannya, jawaban yang kami dapat adalah, “ Sekolah itu nggak enak, terlalu lama. Ngapain. Aku mau di rumah saja. “
Jam sekolah anak kami itu sebetulnya normal saja ketika itu. Masuk jam 7.15 dan pulang jam 12 siang. Tapi menurutnya itu terlalu lama.
Kami bicara lagi dengan gurunya. Dan dia beruntung.
Gurunya memahami.
Inilah menurut aku kunci yang bisa membuat perbedaan. Para guru yang bersedia memahami jalan pikiran muridnya, serta menyadari bahwa tiap anak adalah unik.
Guru kelas 1 SD-nya bicara dengan anakku dan ketika anakku mengatakan bahwa bagi dia jam sekolah itu terlalu panjang, gurunya menawarkan bahwa selama anakku bisa menyelesaikan jumlah tugas yang sama dengan teman- teman sekolahnya, maka dia diijinkan masuk lebih siang dari kawan- kawannya dan pulang lebih awal.
Anakku menyetujui hal tersebut.
Dan…
Yang terjadi setiap hari adalah dia masuk sekitar jam 7.30 lalu pulang jam 10. Dia bisa menyelesaikan semua tugasnya dalam rentang waktu yang jauh lebih pendek dari jam sekolah normal itu dan ibu guru yang baik hati itu menepati janji untuk mengijinkan dia bersekolah dengan 'flexi time' semacam itu sepanjang tugasnya selesai dengan baik.
Anakku terselamatkan. Dia tak lagi mogok sekolah. Dengan jam sekolah yang diperpendek khusus baginya itu, dia naik ke kelas dua dengan nilai- nilai baik.
Kami orang tuanya lega. Tapi aku mencatat dalam hati, sebab makin jelas bahwa anak ini unik, maka akan ada banyak tugas bagi kami untuk membuat anak kami ini bisa memahami lingkungan dan dipahami lingkungan sekitarnya.
Sekolah hanya salah satu dari banyak PR yang akan harus kami kerjakan.
Dan benarlah ternyata itu yang terjadi…
( diputus segini dulu yaaa… nanti disambung lagi… )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H