Suatu hari di rumah kayu...
Pagi- pagi Dee membuka semua jendela - jendela lebar di rumah kayu, membiarkan udara pagi yang dingin menghembus masuk ke dalam rumah.
Anak- anak masih lelap dalam mimpi indah mereka sepagi itu.
Dee terus membuka jendela- jendela. Dan ketika itulah Kuti mendekat, memeluk pinggangnya dari belakang, mencium dan menghirup wangi rambutnya...
***
Kuti teringat pada suatu hari dulu, ketika mereka baru saja menikah. Hal yang sama terjadi.
Dee membuka jendela- jendela di rumah kayu pagi itu, di suatu hari ketika mereka baru saja beberapa hari menjadi suami istri. Dan Kuti, seperti saat ini, juga memeluk sang istri dari belakang.
~ Menghirup wangi rambut sang istri dengan segala rasa...
Dia tidak dapat mengatakan apa persisnya wangi rambut dan tubuh istrinya.
Itu campuran dari wangi cemara, kembang tanjung, wangi yang biasa tercium dari laut saat angin menghembus dari tengah laut ke pantai yang bercampur dengan keharuman tanah yang baru tersiram air hujan dan saat tertimpa matahari...
Menghirup wangi rambut dan tubuh istrinya membuat dada Kuti berdebar serta menyebabkan adanya rasa hangat dan hangat yang menyebar ke seluruh raga... dan jiwa...
Kuti ingat, pagi itu sekian tahun yang lalu, sang istri dengan tenang tetap meneruskan membuka jendela-jendela, seakan-akan tidak merasakan ada sesuatu yang berbeda.
Dan...
Kuti tersenyum.
Tentu saja dia tak akan lupa. Tingkah istrinya itu membuatnya gemas dan pada akhirnya dengan jahil Kuti menggelitiki pinggang istrinya yang akhirnya bereaksi. Dee mulai tertawa-tawa sambil terus meneruskan membuka jendela.
Kuti tentu saja tahu, istrinya itu sebetulnya juga menikmati peluk hangat yang diberikannya, walau dia tetap meneruskan kegiatannya membuka jendela, dan setelah jendela itu terbuka, seperti yang dilakukannya di banyak hari lain, Dee lalu berdiri di tepi jendela sambil memandang ke luar...
Tak mengherankan.
Lokasi di sekitar tempat tinggal mereka memang indah. Tak heran jika Dee betah berlama- lama berdiri di muka jendela.
Ada hutan cemara yang dapat tertangkap pandang dari sana. Ada deretan gunung berwarna kebiruan di kejauhan. Dan tentu saja, juga ada kupu- kupu yang beterbangan kesana- kemari.
Kuti tersenyum lagi.
Ketika itu, seperti juga saat ini, dia memeluk istrinya dengan erat, diselingi dengan gelitikan iseng di pinggangnya yang membuat Dee menggelinjang dan tertawa geli.
Kuti menemukan banyak kepolosan dalam diri Dee.
Juga kesederhanaan.
Dee bisa tampak senang dan sangat bahagia karena hal- hal kecil.
Kelinci-kelinci putih, gerumbulan bunga liar, harum kenanga dan melati, rintik hujan, dan banyak hal lain semacam itu sudah akan dapat membuat istrinya itu sangat gembira dan menikmati semua itu dengan kebahagiaan yang amat- sangat.
Senyum Kuti makin lebar.
Ketika itu, saat berdiri di muka jendela, Dee tampak seperti setengah bermimpi melihat keindahan di luar. Kuti membiarkanya berdiri mematung tak bergerak dan bermimpi seperti itu beberapa saat. Dan kemudian setelah itu, Kuti memegang lengan istrinya dan dengan lembut memutar badannya sehingga mereka berdiri berhadapan.
***
Kini, Kuti melakukan hal yang sama. Dipegangnya lengan Dee dan dia memutar badan istrinya sehingga mereka berdiri berhadapan.
Kuti tersenyum menatap istrinya.
Senyum yang dengan segera berbalas.
Dee tersenyum menatap suaminya.
Dee perempuan. Dan, perasaannya halus. Melihat tatap mesra mata suaminya, dengan segera dia mengerti apa yang diinginkan sang suami...
Dia diam tak bergerak, tetap menatap manik mata suaminya , mengartikan tatap mata yang sangat dalam itu dan mulai menyerap segala rasa yang menghambur dari sana. Dee balas memandang sang suami dengan tetap tersenyum, lalu tanpa sadar dia menggigit sedikit bibir bawahnya...
Kuti, dengan masih tersenyum, memeluknya makin erat.
Dan... saat rasa dan pesan yang terhambur dari pandang mesra, hangat dan dalam suaminya itu masuk makin dalam, makin dalam ke dalam sukma, di luar sana, seekor burung yang hinggap di pucuk pohon mencericit dan mendendangkan lagu cinta...
Let us live, my Lesbia, and let us love, and let us judge all the rumors of the old men to be worth just one penny! The suns are able to fall and rise: When that brief light has fallen for us, we must sleep a never ending night. Give me a thousand kisses, then another hundred, then another thousand, then a second hundred, then yet another thousand more, then another hundred. Then, when we have made many thousands, we will mix them all up so that we don't know, and so that no one can be jealous of us when he finds out how many kisses we have shared. ( Song Five - Gaius Valerius Catullus )
** gambar diambil dari: www.thelennoxx.com **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H