Suatu pagi di hari libur..
HARUM melati, kayumanis, pandan dan cengkeh berhamburan di seluruh ruangan di rumah kayu.
Dee membuka jendela- jendela rumahnya dan dengan senang hati menghirup udara pagi. Melihat kabut yang menggantung dan dengan takjub menatap bening embun di ujung daun.
Suaminya sedang memeriksa sepeda Pradipta. Melihat apakah ban sepeda perlu dipompa atau tidak. Sang istri sudah selesai menyiapkan bekal untuk mereka bawa.
Seperti yang dijanjikan suaminya pada Pradipta kemarin, pagi ini mereka akan berjalan- jalan ke sebuah danau penuh bunga teratai yang terletak tak jauh dari rumah mereka. Pradipta akan mengendarai sepeda merahnya, sementara Kuti dan Dee memilih untuk berjalan kaki dengan masing- masing akan menggendong salah satu dari sang bayi kembar Nareswara dan Nareswari.
Dee sendiri sungguh gembira bahwa hari ini mereka akan berpiknik ke danau tersebut. Tempat itu indah. Teratai berwarna merah muda keunguan yang melayang di atas air selalu tampak memikat disana.
Dee bahkan rasanya sudah dapat menghirup wangi cemara. Danau tersebut letaknya di tepi hutan cemara.
Ah, betapa akan indahnya pagi ini, pikir Dee.
Dia masih berdiri di tepi jendela, melihat burung- burung bercericit ceria di ranting pohon dan kelinci- kelinci yang menggeliat bangun. Rasa bahagia memenuhi seluruh rongga dadanya, dan hatinya, dan seluruh jiwanya.
Tak dapat dicegah, syair indah dari seorang pujangga menyeruak mengisi angan. Syair Kahlil Gibran tentang Suara Alam.
Ketika burung-burung bernyanyi, apakah
mereka memanggil bunga-bunga di ladang,
ataukah mereka sedang berbicara pada
pohon-pohon, atau mereka tengah
menggemakan bisikan anak-anak sungai?