Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengikuti Arus Tanpa Menjadi Hanyut

18 Desember 2011   09:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:06 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Arus yang mengalir itu…

MEMBIARKAN angin lembut membelai pipinya, Dee duduk di tepi jendela. Memandangi gunung- gunung dan hutan cemara. Mendengarkan cericit burung. Menikmati gerisik dedaunan.

Si kembar Nareswara dan Nareswari bergelung hangat di pangkuan Dee. Keduanya terlelap setelah kenyang memperoleh ASI. Dee sengaja belum meletakkan keduanya di tempat tidur, sebab ingin menikmati lebih lama kehangatan dan harum tubuh para bayinya.

Senyap di rumah kayu.

Kuti dan Pradipta sedang pergi menghadiri acara keluarga di kantor Kuti. Dee sendiri memilih tetap berada di rumah dengan kedua bayinya.

“ Pergilah, ‘yang, “ katanya pada Kuti yang saat tahu Dee lebih ingin berada di rumah hampir saja mengurungkan niatnya untuk datang ke acara tersebut. “ Ajaklah Dipta, dia pasti senang, “ kata Dee lagi.

Dan begitulah, Kuti akhirnya berangkat berdua dengan Pradipta. Dee yakin Pradipta akan senang sekali. Acaranya berlangsung di di tepi pantai. Ada kolam renang yang menjorok ke laut. Juga ada beberapa permainan untuk kanak- kanak di sana. Setelah sekian lama harus banyak mengalah setelah kelahiran kedua adik kembarnya, Dee yakin Pradipta gembira memiliki waktu bersenang- senang berdua dengan ayahnya semacam itu.

Ah. Dee tersenyum ketika melihat kucing abu- abu Pradipta terlonjak- lonjak di halaman. Bergurau dengan daun yang bergerak- gerak seakan mengajaknya bercanda. Setelah itu kucing tersebut berguling- guling di rerumputan yang pastilah terasa hangat tertimpa cahaya matahari pagi.

Dee tersenyum lagi.

Betapa sederhananya hidup kucing itu, pikir Dee. Dia teringat pada pemikiran seorang filsuf bahwa bagi seekor hewan, beda saat kanak- kanak dan dewasa terutama hanya menyangkut makanannya saja. Yang diluar itu, misalnya tabiat, perilaku dan lain sebagainya telah ditentukan oleh alam.

Tak seperti manusia, hewan tidak bersikap kritis terhadap diri sendiri dan sekitarnya untuk dapat menentukan perluatannya dengan mengambil keputusan yang merdeka. Berbeda dengan manusia yang proses kedewasaannya akan menuju pada tujuan untuk menjadi seseorang yang berdiri sendiri dan merdeka.

Di kemudian hari memang seberapa berdiri sendirinya seorang manusia memang akan pula tergantung pada apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Pengaruh lingkungan ini kadangkala bersifat positif serta menguntungkan dalam proses pembentukan manusia yang mandiri dan merdeka, acapkali pula sebenarnya merupakan perintang dalam tercapainya tujuan tersebut.

Apalagi, secara naluriah manusia juga memiliki kecenderungan untuk menyerah pada sesuatu yang dangkal, pada keinginan untk membiarkan diri terseret pada arus yang lebih terfokus pada kulit luar, pada jasmani serta hawa nafsu dibanding pada isi, rohani dan hati nurani.

Dan Dee teringat pada percakapannya dengan seorang kawan belum lama ini…

***

“ Menyelam dan membiarkan diri tenggelam dalam arus kesadaran yang tak putus- putus. Begitu caranya, Dee, “ kata sang kawan.

Dee terbahak.

“ Cobalah mengatakannya dalam bahasa yang lebih sederhana, “ komentar Dee.

“ Ikut arus, tapi bukan hanyut. Kalau menurut istilah orang Jawa sih, tapa ngeli… “ jawab kawannya.

Hmmm.

Ikut arus, tapi bukan hanyut?

Dee dan seorang kawan lama, kawan dari masa kecilnya dulu, saat itu sedang mempercakapkan betapa riuh rendahnya situasi di luar sana. Begitu banyak orang yang seperti kehilangan akal membabi buta melakukan hal- hal yang ‘aneh- aneh’, kelicikan, kecurangan, mengatakan hal- hal yang bahkan oleh logika paling sederhanapun tak dapat diterima dan tanpa malu- malu merevisi ucapannya tapi tidak tindakannya. Orang- orang yang tanpa ragu memamerkan hal- hal yang seharusnya tak dipamerkan di muka umum, melakukan hubungan- hubungan yang seharusnya dihindari…

Dan begitulah cara sang kawan mengomentari tentang bagaimana cara seseorang harus bersikap diantara beragam ‘kegilaan’ yang terjadi di sekitar.

“ Tapi, bagaimana caranya mengikuti arus tanpa ikut hanyut itu? “ tanya Dee.

Kawannya hanya tertawa saja. “ Kamu sebenarnya sudah tahu jawabnya, Dee, “ katanya. Lalu bagaimanapun Dee mendesaknya, dia tak lagi mau mengatakan apa- apa dan memilih untuk menggelitik dan bergurau dengan si kembar Nareswara dan Nareswari.

Menyebalkan, gerutu Dee dalam hati. Kawan yang satu ini memang selalu begitu. Mereka dulu bertetangga dimasa kecil, dan karena usianya yang beberapa tahun lebih tua dari Dee, kawan ini seringkali mengajarkan beragam hal tentang kehidupan pada Dee. Tapi, begitulah selalu caranya. Dia hanya mengatakan sedikit saja lalu membiarkan Dee berpikir dan menguraikan sendiri apa yang dikatakannya.

Entahlah apakah pengertian Dee benar atau tidak dalam hal ini, tapi dari apa yang dapat dia serap dari perkataan kawannya itu tapa ngeli adalah mengikuti aliran arus kehidupan yang telah ditetapkan oleh Yang Kuasa, mengikuti lekuk liku dan kelok sungai yang pada akhirnya akan mengarahkan manusia pada kebijaksanaan.

Dan pada akhirnya Dee menyimpulkan bahwa mengikuti arus tanpa menjadi hanyut hanya akan dapat terjadi jika seseorang berpijak dengan kuat ke dasar.

Dasar hati, bukan dasar sungai.

Sebab manusia pada dasarnya memang merdeka. Dan kemerdekaannya ini dapat digunakannya untuk membuat dirinya berdaulat, melakukan hal- hal yang akan meninggikan derajatnya, atau sebaliknya dapat juga digunakan untuk menjerumuskan dirinya pada keterpurukan, pada kehilangan kedaulatan pada diri sendiri -- sebab diperbudak oleh materi, sebab memilih untuk bergabung dengan kelompok yang berkuasa demi kepentingan tertentu walau dia sebenarnya tahu bahwa apa yang dilakukan kelompok tersebut sebenarnya menjajah hak orang lain di sekitarnya dan dalam jangka panjang tak akan membawa pada kebaikan, dan lain sebagainya...

***

Ah, pikir Dee, sebenarnya jika saja setiap manusia sebagai individu memiliki kesadaran untuk membangun dirinya sendiri untuk terus menerus mencapai keluhuran dan kehalusan budi, sebenarnya situasi masyarakat yang sakit akan dapat dihindari. Sebab masyarakat kan merupakan kumpulan dari individu- individu. Jika semua individu tersebut berbudi baik, tentu masyarakat yang baiklah yang akan terbentuk.

Sayangnya di banyak tempat situasi sekarang menjadi terbalik. Saat menghadapi situasi atau pendapat yang berbeda atau berlawanan, manusia seringkali hanya memperhatikan kuantitas dan melupakan kualitas. Menganggap yang banyak selalu lebih baik daripada satu. Bahwa pendapat kelompok lebih baik dari individu.

Betapapun menyimpangnya pendapat atau tindakan tersebut dari kebenaran, betapapun kotor dan curangnya suatu kondisi yang terjadi, jika itu dilakukan oleh sebuah kelompok yang lebih besar, maka pada banyak kesempatan manusia yang menentangnya yang akan dianggap salah.

Menjadi diri sendiri, berdiri tegak memiliki pendapat yang berbeda dengan suatu kelompok, menjadi waras diantara begitu banyak kegilaan, memang tak pernah mudah.

Hanya manusia- manusia kuat yang semata tujuan hidupnya adalah demi kebaikan dan melepaskan diri dari ketergantungan pada jabatan, materi, kepopuleran dan hal- hal lain yang semacamnya yang akan dapat melakukan hal semacam itu.

Dan setiap manusia diberi kemerdekaan untuk memilih apakah dia akan menjadi manusia yang berdaulat atas dirinya sendiri atau menjadi seseorang yang selalu hanyut dan terombang- ambing oleh situasi dan lingkungan sekitarnya…

picture: fallen leaves by patrick zephyr

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun