" Makanannya nggak mengandung babi, tapi belum tentu halal... "
MEMBACA banyak tulisan tentang sertifikasi halal dan haram, aku teringat beberapa pengalamanku terkait soal makanan.
Bekerja di perusahaan multinasional membuat aku kadangkala harus menghadiri training atau meeting di kantor- kantor cabang negara lain, dimana makanan yang tak diizinkan untuk dimakan oleh umat muslim -- terutama babi -- biasa dikonsumsi sehari- hari.
Kucatat banyak toleransi dan perhatian dari teman- teman berbangsa lain dalam hal ini. Bahwa muslim tak diijinkan mengkonsumsi babi, rupanya merupakan pengetahuan umum yang diketahui oleh hampir semua orang.
Paling sedikit, itu yang kualami.
Teman- temanku -- terutama para tuan rumah di negara dimana kami berada -- umumnya berbaik hati saat kami sedang makan. Jika makanan yang dihidangkan prasmanan, biasanya mereka menunjukkan padaku, " Yang ini kamu bisa makan, yang ini jangan. "
Dasar bandel, adakalanya aku dan beberapa kawan dari Indonesia kadang- kadang malah tertawa- tawa bergurau saat kawan kami yang tuan rumah sibuk menunjukkan ini dan itu pada kami agar kami menghindari jenis makanan tertentu. Kami dengan iseng mengatakan, " Yaaa... kenapa dikasih tauuu ? "
Komentar nyeleneh yang biasanya membuat mereka bingung. Lho, koq reaksinya begitu ?
Dan dengan jahil kami katakan, " Karena kalau tidak tahu, kami boleh memakannya. Sebab dikasih tahu, kami jadi tidak bisa makan... ha ha... "
Oh, begitu ?
Mereka baru tahu itu.
Ah, tapi tentu saja itu hanya gurauan. Sebab yang sebenarnya, kami berterima kasih sekali atas kebaikan hati mereka yang setiap hari  tanpa putus memberikan informasi pada kami, " yang ini bisa dimakan, yang ini jangan " semacam itu.
***
[caption id="attachment_314584" align="aligncenter" width="373" caption="Gambar: www.spreadshirt.com"][/caption]
Kejadian lain, terjadi suatu hari usai training juga.
Aku ingat, di Singapore kami berada saat itu. Lalu, seperti biasa, ada rencana untuk mengadakan class dinner. Acara makan malam bersama untuk semua peserta training.
Rembukan diadakan. Hendak pergi kemana kami malam itu.
Dan dengan ketelitian ala Singaporean, saat mereview daftar tempat yang akan kami datangi, seorang kawan penduduk setempat berkata " Yang ini makanannya tidak mengandung babi, tapi bukan halal. "
Lalu dijelaskannya lagi, bahwa kami akan pergi ke restaurant yang makanan utamanya berupa sea food, mungkin ada ayam juga. Tidak ada babi disana, kata teman Singapore itu, tapi restaurant itu tidak memasang label halal. Maka itulah yang dia katakan: makanannya tidak mengandung babi, tapi dia tak bisa mengatakan bahwa itu klasifikasinya halal.
Kisah dengan kawan Singapore ini teringat lagi olehku saat membaca pendapat tentang sertifikasi halal dan haram. Dan beberapa usulan bahwa agar efisien, yang haram saja yang dilabeli. Sisanya, artinya, halal.
Sebenarnya, faktanya memang tak sesederhana itu. Sebab halal memang mengandung aturan tertentu, baik cara produksi maupun cara penyembelihan binatang, misalnya. Maka, bisa jadi ada klasifikasi lain selain halal dan haram, yakni seperti yang diutarakan kawan Singaporeku itu: makanan itu tak mengandung babi, tapi belum tentu halal...
Omong- omong, aku menuliskan artikel ini bukan karena ingin berdebat. Aku hanya ingin menceritakan saja, bahwa urusan memilah halal dan haram, dalam prakteknya bisa jadi tak sesederhana itu.
Itu saja. Bagaimana menyikapinya, apakah akan mengkonsumsi atau tidak makanan yang 'tidak mengandung babi tapi belum tentu halal' itu, akan tergantung kembali pada masing- masing orang...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H