[caption id="attachment_319833" align="aligncenter" width="600" caption="Gambar: centuryfoundation.ac.in"][/caption]
Mari melanjutkan obrolan tentang Ujian Nasional.
DAN tentang ketenangan serta kepercayaan diri yang diperlukan para siswa, disamping penguasaan materi.
Ini masih pengalaman pribadi. Dan dari periode paling berkesan: ketika anak- anak, terutama si sulung, masih SD. Sebab itu kali pertama menjalani.
Simpan ketegangan untuk diri sendiri
Ada satu hal yang pantang aku dan suamiku tunjukkan di depan anak- anak, terutama saat mereka sedang ujian: ketegangan.
Percayalah, anak- anak itu sudah cukup memperoleh tekanan, ketegangan, stress, ditambah kelelahan sebab menjelang ujian ada banyak pelajaran tambahan yang mereka ikuti. Dan mereka tak membutuhkan lagi tambahan ketegangan dengan mendengar atau melihat orang tuanya stess.
Kita sering melupakan bahwa anak- anak itu mengamati, mendengar, menyerap. Saat orang tua berkumpul sesamanya dengan anak- anak berlarian di sekitar mereka, siapa bilang anak- anak tidak mengamati atau mendengar orang tua berbicara ?
" Aduuhhhhh, stess deh mikirin Ujian Nasional ! "
" Gimana nih, passing grade masuk SMP anu sekian, bisa nggak ya anak saya masuk sana ? "
" Ini anak koq tenang- tenang aja ya, padahal orang tuanya udah pusing dia mau ujian. "
Kiat kami: simpan saja semua itu untuk diri sendiri. Kalau bisa, malah jangan stress sama sekali. Kalau toh tetap stress juga, ya itu tadi: jangan tunjukkan pada anak.
Anak butuh ketenangan, dan rasa percaya diri saat menghadapi ujian.
Dan sikap orang tua yang juga tenang, serta menunjukkan kepercayaan bahwa anaknya akan bisa melampaui ujian dengan baik akan sangat membantu anak untuk bisa bersikap serupa.
Kewajaran sikap orang tua, juga akan sangat membantu.
Kuperhatikan bahwa ada banyak orang tua dari anak cerdas yang panik sendiri. Membuat tekanan pada anaknya menjadi bertambah.
Salah satunya, urusan menjadi juara, dan akan masuk sekolah mana anaknya nanti.
Jangan paksa anak menjadi juara ( apalagi jika anak tidak siap, apalagi dengan cara curang )
Aku pernah merasa sungguh kasihan pada teman anakku. Juara kelas sejak kelas satu. Yang ternyata adalah 'juara karbitan'.
Anak itu dijejali pikiran 'harus jadi juara'. Tindakan orang tuanyapun menunjukkan itu. Dia nyaris tak punya waktu bermain. Mendapatkan jam pelajaran tambahan di berbagai tempat yang berbeda, dari Senin hingga Minggu.
Ya ampun.
Belum lagi, rupanya tugas- tugas anak itu bukan hanya dikerjakan sendiri, tapi secara harfiah orang tuanya -- terutama ibunya -- juga ikut sekolah. Pekerjaan rumah, termasuk prakarya, dikerjakan dengan bantuan ibunya.
Aku terpaksa menelan senyum dalam hati suatu hari saat mendengar cerita sang ibu bahwa anaknya pernah bertanya apakah dia harus selalu jadi juara dan ibunya menjawab kalau mampu, memang mesti jadi juara. Ehm, kalau mampu, benar. Tapi anak ini sepertinya dipacu lebih dari kemampuannya. Dan sepertinya dia lebih ingin mendapatkan kelonggaran waktu daripada sekedar jadi juara.
Ibunya, tentu saja jadi stress. Sibuk mengecek kesana kemari nilai- nilai teman sekelas anaknya, untuk memastikan sang anak tetap juara. Bahkan pada suatu hari, ibu ini bersikeras meminta anaknya diberi ulangan sekali lagi demi memperbaiki nilai sebab raport bayangan menjunjukkan si anak 'hanya' berada peringkat kedua, selisin nol koma satu dengan seorang anak lain di kelasnya.
Ibu yang tak mau anaknya terkalahkan bersikeras meminta anaknya ditest lagi untuk salah satu mata pelajaran yang nilainya lebih rendah dari pemegang peringkat pertama.
Anaknya akhirnya juara, sebab orang tua anak yang peringkat satu betulan malah tak mau repot- repot mengurusi hal semacam itu dan memilih untuk bicara pada anaknya bahwa tak mengapa jika dia tak jadi juara saat itu sebab dicurangi. Kualitas bintang tetap akan tampak di masa depan. Mendapatkan posisi juara dengan cara yang didapatkan kawannya itu semu, dan tak ada gunanya.
Kasihan si juara semu itu. Berita beredar, dan akibatnya semua orang mengamati,setelah menjadi juara kelas secara semu, apakah anak ini akan memperoleh nilai bagus saat Ujian Nasional?
Saat itu, nilai Ujian Nasional berupa NEM, nilai murni yang diperoleh saat Ujian Nasional itu saja. Maka jadi juara dari nilai raport, bisa berbeda dengan hasil Ujian Nasional.
Sungguh memprihatinkan sebab anak tersebut harus ujian dengan tekanan tambahan seban semua orang memperhatikan gerak gerik dan peolehannya. Aku yakin anak itu bisa merasakan. Dan itu sebetulnya merupakan sebuah tekanan tambahan yang tak perlu baginya.
Tekanan yang harus ditanggung akibat sikap orang tuanya.
Jadilah jaring pengaman ( Masuk sekolah mana nanti ? )
Tekanan dan keresahan yang dirasakan saat Ujian Nasional pada saat anak sulungku duduk di bangku SD itu berlipat sebab nilai Ujian Nasional itu yang akan digunakan sebagai nilai untuk saringan masuk SMP.
Urusan 'masuk ke sekolah mana nanti' itu sejatinya bukan hanya menjadi perhatian orang tua. Anak- anak itu, walaupun masih kecil, sebenarnya juga sudah bisa berpikir satu langkah ke depan.
Aku ingat, di akhir masa kelas 4 anakku mempertimbangkan urusan masuk kelas akselerasi. Dia ingin masuk kelas akselerasi saat kelas lima SD. Masuk kelas itu akan membuatnya bisa lulus SD dalam jangka waktu lima tahun saja. Prestasinya selama ini juga memungkinan untuk itu.
Namun...
Suatu hari pulang sekolah, dia bicara pada kami.
" Kata teman- teman di sekolah, mendingan nggak usah masuk akselerasi aja. Soalnya, kalau masuk kelas akselerasi, nanti nggak bisa masuk SMP anu, kalah sama yang nggak akselerasi, yang SD-nya enam tahun " SMP anu yang disebutkannya adalah sekolah favorit di kota kami.
Kami tersenyum saja mendengar apa yang dikatakannya.
Kami balikkan pikiran "kalau masuk akselerasi nggak bisa masuk SMP sekian dengan pertanyaan ini: " Memangnya semua anak yang lulus SD-nya enam tahun bisa masuk SMP anu ? "
Anakku berpikir sejenak lalu menggeleng, " Enggak, " katanya.
" Nah jadi, " kata kami padanya, " Apa bedanya? Kalau nggak masuk akselerasi juga belum tentu bisa masuk situ, kalau akselerasi juga belum tentu bisa masuk. Sama aja kan? Jadi kalau memang ingin masuk akselerasi, masuk saja. "
Kami tambahkan kalimat itu dengan, " Lagipula SMP kan nggak cuma satu. Kalau nggak diterima di SMP itu, nanti Bapak sama ibu cariin SMP lain deh, nggak usah kuatir nggak bisa sekolah... "
Anakku mengangguk dengan senang dan tenang hati. Tahu bahwa kami orang tuanya akan membantu mencarikan solusi dan bisa menjadi jaring pengaman jika situasi mengharuskan.
Hal yang sama, kami lakukan saat menjelang Ujian Nasional. Ketika orang tua lain membekali anaknya dengan pesan " pastikan nilaimu di atas sekian, biar bisa masuk sekolah favorit", kami memilih untuk tak mengatakan apapun pada anak kami.
Dia sungguh tak membutuhkan lagi tekanan tambahan. Kami ingin dia bisa melalui masa ujiannya dengan kewajaran dan ketenangan serta kepercayaan diri yang baik. Maka kami upayakan bahwa kami orang tuanya menunjukkan sikap riang gembira dan mengatakan padanya bahwa ujian itu memang tahapan yang harus dilalui oleh anak sekolah, jadi: tak perlu resah, santai saja...
p.s. Anakku akhirnya lulus Ujian Nasional dengan baik, menyelesaikan SD-nya melalui program akselerasi dalam waktu lima tahun dan masuk ke SMP anu yang tadinya dia khawatirkan tak akan berhasil ditembusnya itu. Yang paling penting dari semua itu, dia melampaui semua masa ujiannya dengan ringan hati dan riang gembira...
** Bagian satu dari tulisan ini ada disini: http://muda.kompasiana.com/2014/04/13/ujian-nasional-ada-proses-jangka-panjang-dibalik-keberhasilan-anak-648625.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H