Anak sulungku, kini duduk di tingkat dua di Peguruan Tinggi, merupakan angkatan awal murid- murid yang masuk kelas akselerasi. Dia menyelesaikan Sekolah Dasarnya dalam waktu lima tahun. Kurikulumnya pada waktu itu adalah pada tahun kelima, pelajaran kelas 5 SD dipadatkan dan beberapa bulan terakhir anak- anak di kelas tersebut memperoleh pelajaran kelas 6 SD. Lalu mereka ujian bersama- sama murid kelas 6.
***
Banyak orang tua yang menyekolahkan anak dari anak sulung hingga yang bungsu di sekolah tersebut. Anak sulungku kebetulan bersahabat dengan beberapa anak lain yang juga anak sulung yang kebetulan memiliki adik yang seusia pula, yang saat mereka duduk di kelas 5 SD itu para adik tersebut duduk di kelas 2 SD.
Maka, melihat kakak- kakaknya masuk kelas akselerasi, para adik juga terdorong memiliki keinginan untuk masuk kelas akselerasi .
Nah bagi murid di angkatan di bawah anak sulungku, metodenya berbeda. Bukan kelas 5 dan 6 yang digabungkan menjadi satu, tetapi kelas 3, 4 dan 5 yang seharusnya dihabiskan dalam tiga tahun lalu dipadatkan menjadi dua tahun. Kelas 6 akan menjadi setahun penuh. Para murid bisa masuk ke kelas akselerasi semenjak kelas 3 atau 4.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Singkat cerita, kurikulum berubah. Di angkatan para adik ini, kelas akselerasi tidak lagi bisa dimasuki dari kelas 3 atau 4 tetapi hanya dari kelas 3. Dan salah satu dari para adik ini kebetulan tidak lolos saringan masuk kelas akselerasi di kelas 3 lalu kemudian kesempatan tertutup untuk bisa masuk kelas akselerasi di kelas 4.
Saat itu kebijakan sekolah memang hanya mengijinkan anak- anak dengan ranking 1-6 di kelas untuk disaring kembali melalui test psikologi untuk masuk kelas akselerasi. Anak- anak di ranking di bawahnya tidak mendapat kesempatan untuk ikut test, kecuali ada rekomendasi khusus dari guru kelasnya yang melihat potensi murid di bawah rangking itu untuk mengikuti test.
Padahal, kita tahu, kadang- kadang kecemerlangan anak belum muncul di kelas- kelas awal seperti kelas 1 dan kelas 2 SD itu. Banyak anak cemerlang belum keluar secara optimal potensinya dan banyak anak ( memang tidak semua, tapi banyak ) yang ada di rangking- rangking atas di kelas yang sebetulnya merupakan anak yang semata mendapat nilai bagus sebab dipaksa belajar dengan jumlah jam yang sangat tidak wajar dan mengulang- ulang pelajaran sampai 'hafal luar kepala' oleh orang tuanya.
Tapi, itulah kebijakannya. Yang berujung pada salah seorang anak lelaki bernama JB, adik dari sekelompok kakak- kakak yang berteman baik tidak bisa masuk kelas akselerasi. JB sangat kecewa karena kebetulan adik- adik yang lain ( termasuk anak tengahku, anak nomor dua yang sekarang sudah SMA itu ) yang juga merupakan kawan- kawan mainnya bisa masuk kelas akselerasi seperti kakak- kakaknya.
Orang tuanya sempat mencari jalan dengan dua cara. Di satu pihak membujuk JB dengan mengatakan bahwa tak mengapa tak masuk kelas akselerasi sekalipun, tetapi di pihak lain, sang orang tua juga mengirimkan anak tersebut untuk ditest oleh psikolog untuk melihat potensinya, lalu juga bernegosiasi dengan pihak sekolah apakah jika menurut psikolog anak itu mampu masuk kelas akselerasi dan dalam satu tahun ke depan saat kelas 3 SD prestasinya bisa naik tinggi, sekolah bisa memberi kebijakan agar JB bisa masuk ke kelas akselerasi saat kelas 4.
Pihak sekolah dan yayasan menjanjikan, bisa.