Madinah itu juga masa pra puncak haji, tapi masih awal, masih jauh. Percakapan tentang apakah masih sempat berbelanja setelah thawaf Ifadah ini juga di masa pra puncak haji, tapi tanggalnya sudah dekat sekali dengan 8 Dzulhijah, hari dimana kami akan memulai niat kami berhaji.
Membingungkan bagiku, bagaimana di hari- hari semacam itu, fokus dan pemikiran masih bisa diberikan pada urusan belanja, dan bukan memikirkan apakah nanti semua akan berjalan lancar saat kami berada di Mina, Muzdalifah, Arafah, dan sebagainya ? Mengapa tak mengkhawatirkan kelancaran berhaji yang menjadi tujuan utama tapi memikirkan apakah toko akan sudah buka dan sempat atau tidak belanja di mall saat bapak- bapak bercukur seusai thawaf Ifadah?
***
[caption id="attachment_348442" align="aligncenter" width="314" caption="Ini bukan jualan, tapi ada yang membagikan cup cake gratis merayakan Idul Adha di Mekah. Dok: rumahkayu"]
Begitulah, kepala memang sama hitam, tapi pemikiran bisa (sangat) berbeda.
Perjalanan juga dilakukan dengan tujuan yang sama, yakni berhaji, tapi pada keseharian, isi pembicaraan dan fokus yang ada juga beragam.
Seperti yang kukatakan, aku tak hendak menakar soal ibadah orang. Dan urusan berbelanja, memang juga tak akan bisa dihindari sampai titik nol. Tapi menurut pendapatku, akan lebih elok rasanya jika saat beribadah haji ke Tanah Suci, kita juga menimbang- nimbang sikap dan tingkah laku agar tak menimbulkan kesan bahwa berangkatnya untuk berhaji, tapi pikirannya koq belanja melulu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H