Aku tak paham. Sebab sepengetahuanku masing- masing suami istri yang sekamar memegang satu kunci berbentuk kartu. Jadi walaupun misalnya tiba di kamar tak bersamaan, tak perlu mengetuk- ngetuk pintu seperti itu.
Suamiku menjawab, " Kamar di depan kita itu kamar Bapak- bapak, D, isinya laki- laki semua, bertiga. "
Memang di rombongan kami, sesuai pilihan saat mendaftar, ada kamar yang diisi berdua (biasanya oleh suami istri atau anak dengan orang tuanya), ada juga yang bertiga. Dalam hal yang bertiga ini, jika ada suami istri berangkat bersama untuk beribadah haji, mereka akan tinggal dalam kamar yang terpisah. Para suami dengan suami lain sesama lelaki, sementara para istri di kamar lain sesama perempuan.
Oh, begitu.
Tapi...
" Terus ngapain ibu- ibu itu ngetok- ngetok kamar Bapak- bapak tengah malam begini ? " tanyaku.
Suamiku menggelengkan kepala. Dia tak berminat untuk mengurusi.
Hanya saja, berminat atau tidak berminat, pada akhirnya mau tak mau kami tahu juga apa yang terjadi. Sebab suara itu begitu gaduh. Mungkin bapak- bapak yang kamarnya di seberang kamar kami itu lelah dan sudah tertidur semua sehingga pintu kamar itu lama terbukanya. Ketukan dan panggilan- panggilan keras itu suaranya terus menggema masuk ke kamar kami.
Sampai suatu saat, pintu itu terbuka juga.
Dan kudengar lagi rententan kalimat dari sang ibu yang mengetuk pintu, bicara dengan suaminya. Rupanya yang terjadi adalah, kawan- kawan sekamarnya semua pergi berbelanja dan belum kembali hingga larut malam dan ibu tersebut merasa tidak nyaman tinggal sendirian di kamar. Maka dia mengetuk- ngetuk kamar suaminya.
Aku tak tahu apakah suaminya yang lalu menemani sang istri di kamarnya atau sang istri yang lalu menunggu di kamar suaminya. Aku tertidur kembali, sampai...