Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Suatu Pagi di Mina, Ketika Diri ini Terasa Begitu Kecil (Refleksi dari Perjalanan Haji)

17 Oktober 2014   02:55 Diperbarui: 8 September 2016   00:11 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jamaah haji berjalan menuju dan pulang dari tempat melempar jumroh. Dok: rumahkayu


Suatu pagi di Mina...

AKU berdiri di tepi jalan. Tergugu, dengan air mata bercucuran.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Lailaha illallahu wallahu Akbar. Allahu Akbar Walillahilham, perlahan aku melantunkan suara takbir di mulutku, sementara mataku terus mengamati situasi di sekitar, dengan pandangan yang kadang- kadang kabur tertutup air mata

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar. Dan segala pujian hanyalah kepada Allah...

Sungguh, kata- kata tak akan cukup untuk menggambarkan bagaimana suasana yang tertangkap indraku pagi itu menyergap seluruh kesadaranku, menyentuh hatiku, dan pada akhirnya membuat air mata mengalir deras.

Ah, bukan hanya saat itu, tapi sekarang saat aku membayangkan kembalipun, air mata itu masih juga mengalir.

Ya Allah... Ya Allah... pikirku. Lihatlah mereka, lihatlah begitu banyak orang sepagi ini yang sudah berjalan sejauh itu, untuk melempar jumroh. Lihatlah orang berbagai bangsa, berbagai usia, dengan berbagai kondisi berjalan menuju satu arah, melengkapi ritual ibadah haji yang sedang dilakukan.

Dan hatiku meleleh...

Aku merasa begitu kecil... kecil... kecil...

Lalu perasaan malu menyeruak.

Beragam rasa dalam hatiku muncul campur aduk. Rasa yang telah ada sejak beberapa hari sebelumnya ketika pertama kali tiba di Mina, rasa yang muncul di hari- hari setelah itu, bergabung dengan rasa yang menyeruak di pagi itu...

***

1413463214718207232
1413463214718207232
Pemandangan di Mina, dilihat dari tempat melempar jumroh. Dok: rumahkayu

Tidak bisa tidak, aku bersyukur atas segala karunia, kelancaran, kemudahan yang kuterima dan kualami selama menjalankan ibadah haji di musim haji tahun ini.

Tapi tak bisa tidak pula, ada banyak rasa lain yang muncul selain rasa syukur itu.

Sejak masih di Mekah, di Masjidil Haram, telah kusaksikan pemandangan itu. Pemandangan di pagi buta, ketika banyak orang beristirahat di tempat terbuka, dimana saja di sekitar Masjidil Haram. Pemandangan yang menyentuh, sekaligus menohok hati.

1413466402665856554
1413466402665856554
Jamaah haji tidur di tempat terbuka di sekitar Masjidil Haram. Dok: rumahkayu

Lalu kusaksikan lagi dalam jumlah lebih banyak pemandangan serupa ketika kami tiba di Mina. Banyak orang bermalam dalam kondisi seadanya di Mina. Baik karena memang tak memiliki tempat berteduh lain, atau banyak juga yang karena letak tendanya terlalu jauh dari tempat melempar jumroh lalu memutuskan untuk bermalam dalam kondisi seadanya saja di tempat dekat lokasi melempar jumroh.

Dan hatiku tersergap rasa malu dan 'bersalah'. Rasa syukur atas karunia itu tetap ada, tentu. Tapi rasa malu dan merasa agak bersalah itu muncul tak terhindarkan.

Tenda kami di Mina terletak sangat dekat dengan tempat melempar jumroh. Mungkin jaraknya hanya 100 - 150 meter saja. Fakta yang sejak awal kuterima dengan gembira. Sebab itu suatu kemudahan tak terkira.

Tapi aku tak bisa membutakan mata. Dalam hitungan jam sudah kulihat pemandangan itu. Dan rasa iba menyeruak.

1413463388249199683
1413463388249199683
Banyak jamaah haji berteduh di tempat seadanya di Mina. Dok: rumahkayu

Juga pagi itu.

Ketika melihat gelombang manusia berjalan keluar dari mulut terowongan di Mina menuju tempat melempar jumroh, hatiku terasa diremas- remas dan begitu saja air mata mengucur.

Aku malu... Malu...

Ada jutaan manusia yang saat itu memiliki tujuan yang sama untuk beribadah. Dan aku menyaksikan betapa niat beribadah itu menguatkan hati, dan fisik. Jiwa dan raga.

Aku tahu semua itu tidak mudah. Tidak ringan.

1413463640926795606
1413463640926795606
Banyak jamaah menginap di tempat terbuka di Mina. Dok: rumahkayu

Sehari sebelumnya, seusai Thawaf Ifadah di Masjidil Haram, kami kembali ke Mina. Dan sebab kami tiba di Mina lebih siang dari yang direncanakan, bus sudah tidak lagi diperkenankan masuk melalui terowongan Mina. Maka kami harus turun sebelum terowongan dan berjalan kaki melintasi terowongan, menuju tempat melempar jumroh, lalu kembali ke tenda kami yang terletak tak jauh dari situ.

Aku sendiri bersyukur bahwa hal tersebut terjadi. Rencana aslinya, jika kami tak kesiangan, bus masih bisa menembus terowongan dan kami bisa turun di dekat tenda kami. Maka kami tak harus berjalan kaki menembus terowongan. Lebih mudah dan ringan. Tapi sungguh, bahwa rencana harus berubah dan pada akhirnya kami harus berjalan kaki itu kuhitung sebagai pengalaman berharga.

Sebab dengan pengalaman itulah aku bisa memahami, merasakan, bahwa berjalan kaki di bawah terik matahari yang menyengat bahkan untuk jarak sedekat itupun tak lagi bisa dikatakan ringan. Tetap lelahnya terasa.

14134638701700765662
14134638701700765662
Terowongan di Mina. Dok: rumahkayu

Itu sebabnya pagi itu, saat aku menyaksikan orang berjalan menuju tempat melempar jumrah di jalan di depan tenda kami, air mataku bercucuran tak tertahan.

Orang- orang ini berjalan entah berapa jauhnya. Ada yang dua kilometer, ada yang enam kilometer, atau bahkan lebih, kubayangkan kelelahan yang pasti ada. Walau tak tampak itu dalam wajah- wajah mereka. Niat untuk beribadah meredam semua kelelahan itu.

Tetap rasa haru itu tak terbendung.

Aku merasa kecil, malu dan tak berdaya. Ya Allah... pikirku, lihatlah mereka, berjuang mencapai tempat melempar jumroh. Sementara aku, mendapat tenda sedekat ini, jarak sedekat ini...

Pada saat itu kupahami apa arti 'setiap langkah mendapat pahala' jika langkah itu dilakukan untuk beribadah. Setiap langkah mendapat pahala, dan makin jauh, makin panjang jarak yang ditempuh, makin banyak langkah yang harus dilakukan, makin banyak pahala yang didapat, sebab kesulitan yang dihadapi juga makin banyak, kelelahan juga lebih terasa.

Aku tergugu.

Tak tahu harus berbuat apa.

Tak tahu bagaimana cara meringankan.

Beberapa saat setelah itu, kuingat satu hal. Ada banyak air tersedia di tendaku.

Maka aku masuk ke lingkungan tendaku, mengisi penuh- penuh satu kantong kresek dengan berbotol- botol air dan berkotak- kotak juice buah yang lalu kutawarkan dan kuberikan pada orang- orang yang lewat.

Aku tahu, apa yang kulakukan itu sangat sedikit dan mungkin hampir tak berarti. Sedikit sekali jumlah air yang bisa kubawa dalam kantong kresek itu dibandingkan dengan jumlah orang yang lewat. Tapi paling tidak, aku melakukan sesuatu. Tak sanggup rasanya berdiam diri saja.

14134639701477983887
14134639701477983887
Pemandangan di mulut terowongan Mina. Dok: rumahkayu

Air mataku terus bercucuran pagi itu, di tepi jalan di Mina.

Dia Sang Maha Cinta terasa begitu Agung, sementara diri ini merasa kecil, tak berdaya, dan malu sebab begitu banyak karunia yang telah kuterima sementara begitu sedikit yang sudah kulakukan.

Aku kembali tergugu. Air mata mengalir terus membasahi wajah.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Lailaha illallahu wallahu Akbar. Allahu Akbar Walillahilham...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun