Bagaimana bisa sempat menayangkan tulisan di Kompasiana di tengah kegiatan berhaji?
ITU pertanyaan yang kuterima dari beberapa orang yang kukenal, yang membaca tulisanku di Kompasiana.
Juga ada komentar masuk yang menanyakan "koq bisa cepat sekali bikin postingnya? " -- yang kutangkap maknanya setali tiga uang. Intinya: koq sempat- sempatnya aku bikin 'liputan langsung', lengkap dengan foto- foto pula saat berhaji lalu.
Pertanyaan itu mungkin tak akan muncul jika aku ini jurnalis profesional yang berangkat ke Tanah Suci dengan tujuan untuk meliput situasi disana. Tapi aku memang bukan jurnalis. Menulis di blog-pun untuk bersenang- senang belaka. Tujuannya rekreasi, dan detoksifikasi. Sekedar mengeluarkan pikiran dan rasa yang berkeliaran di kepala dan hati.
Jadi.. kembali pada pertanyaan itu, koq bisa dan sempat- sempatnya bikin posting lengkap dengan gambar- gambar itu, gimana caranya ?
Apalagi saat itu, Kompasiana bahkan tak mudah diakses. Aku mengalami beberapa kali login ke Kompasiana, saat sudah login, tiba- tiba diminta login kembali.
Belum lagi, cerita lama. Menghargai komentar- komentar yang masuk, aku sebenarnya ingin sesempatnya berusaha membalas komentar itu sesegera mungkin. Tapi hal itu ternyata tak bisa dilakukan. Balasan yang kutulis melalui telepon genggam lenyap tak berbekas. Tak muncul sebagai balasan di kolom komentar.
Waduh !
He he he. Repot banget, ya?
[caption id="attachment_348580" align="aligncenter" width="625" caption="Pembangunan di Masjidil Haram terus berjalan. Dok: rumahkayu"][/caption]
Beragam error itu jelas jadi kendala. Apalagi, aku ini pengetahuan teknisnya terbatas. Hingga hari ini aku bahkan tak pernah berhasil memuat gambar di posting melalui telepon genggam (pernah aku coba tapi muterrr terus loading tak pernah usai, setelah itu aku kapok, he he ).
Jadi... bagaimana caranya dengan semua kendala itu, beberapa tulisan yang kutulis di Tanah Suci bisa ditayangkan di rumahkayu?
Aku tidak akan menjawab dengan jawaban- jawaban teknis bagaimana cara ngeblog via telepon genggam, bagaimana cara memasukkan gambar dengan mudah, dan sebagainya. Sebab memang bukan itu kuncinya.
***
Jadi bagaimana caranyaaaaaa, sebetulnya ?
Jawabannya: aku harus berterimakasih pada partner in crime ngeblog-ku di rumahkayu ini.
Tulisan dan gambar- gambar yang aku tayangkan selama aku berada di Tanah Suci, tak akan berhasil ditayangkan tanpa bantuan Fary (a.k.a Suka Ngeblog), teman duet ngeblogku selama hampir enam tahun terakhir ini.
Jadi, memang urusannya bukan urusan teknis. Tulisan- tulisan itu bisa terpublikasi karena persahabatan dan kerjasama yang kami lakukan, he he he.
***
[caption id="attachment_348579" align="aligncenter" width="679" caption="Pemandangan mengharukan di Mina. Banyak jamaah haji tidur dengan alas dan atap seadanya. Dok: rumahkayu"]
Jika tulisan- tulisanku muncul dalam bentuk yang sudah rapi, paragraf yang teratur, gambar- gambar yang diletakkan dengan baik sesuai dengan konten tulisan, maka kredit untuk hal- hal tersebut harus diberikan pada Fary, bukan padaku.
Aslinya, tulisan- tulisan itu bahkan tidak kukirimkan pada Fary dalam bentuk utuh. Satu tulisan yang ditayangkan di akun rumahkayu ini, bisa jadi diterima Fary dalam bentuk kepingan- kepingan gambar, dan teks dalam bentuk yang terpotong- potong.
Ya benar, terpotong- potong.
Waktuku untuk menulis selama di Tanah Suci terbatas. Walau ide berlimpah, seringkali aku hanya bisa menulis satu dua paragraf saja.
Satu dua paragraf yang secara spontan aku tuliskan di email dan aku kirimkan pada Fary.
Satu tulisan utuh yang muncul di Kompasiana dan lalu ditayangkan itu, bisa jadi sebetulnya itu kumpulan dari lima, enam, tujuh, delapan atau mungkin lebih email berisi teks dan gambar- gambar yang aku kirimkan pada Fary.
Aku bahkan tak sempat membaca ulang atau mengedit tulisanku. Jadi apa yang aku kirimkan pada Fary itu teks yang masih ada typo error, atau urutannya mungkin masih agak kurang enak dibaca.
Tapi kami sudah bersahabat cukup lama untuk aku bisa mempercayai bahwa dia akan melakukan apa yang perlu dilakukan. Aku tahu bahwa dia tak akan meloloskan tulisan itu tanpa standar minimal tertentu yang kami anggap layak.
Foto- fotopun aku kirimkan padanya, dengan pesan: silahkan dipilih mana yang cukup baik dan sesuai untuk melengkapi tulisan yang akan ditayangkan.
Jadi...
Itulah semua jawabannya bagaimana cara tulisan- tulisan tersebut bisa dipublikasikan.
Dan itulah juga jawabannya mengapa tulisan- tulisanku bisa ditayangkan tapi aku tidak bisa segera membalas komentar. Sebab aku memang tidak menulis di laptop. Aku menulis di telepon genggam. Fungsi membalas komentar melalui telepon genggam di Kompasiana masih belum berfungsi baik.
Fary sebetulnya menawarkan agar aku menuliskan balasanku di email dan nanti dia akan membantu mengcopy paste jawabanku. Tadinya akan kuturuti sarannya, tapi batal. Selain karena keterbatasan waktu, juga aku koq merasa membalas komentar seperti itu tidak lagi terasa spontan. Lebih enak membalas langsung saja.
Maka walau semua komentar sudah kubaca segera setelah komentar itu masuk, jawabannya baru bisa kuberikan belakangan sesudah aku kembali ke tanah air.
***
[caption id="attachment_348582" align="aligncenter" width="677" caption="Pemandangan di salah satu sudut Arafah. Dok: rumahkayu"]
Aku membuat tulisan ini untuk beberapa alasan. Yang pertama, seperti yang kukatakan, untuk menjawab pertanyaan bagaimana aku masih 'sempat- sempatnya' mempublikasikan tulisan saat dalam perjalanan berhaji, dan, last but not least, karena aku sungguh menghargai persabahatan yang kami jalin semenjak kami bersepakat membangun sebuah blog duet bersama bertahun- tahun yang lalu.
Menjaga persahabatan itu tidak mudah. Dan walau blog duet ini juga kami buat dengan tujuan untuk bersenang- senang, dalam perjalanannya aku juga menyadari, bersepakat membuat blog duet itu jauh lebih mudah daripada menjaganya.
Kami menyaksikan banyak blog duet yang dibangun lalu layu sebelum berkembang. Kami memahami mengapa itu terjadi, sebab kami tahu bahwa menjaga keutuhan blog duet memang tak sesederhana itu, ternyata.
Sama seperti persahabatan. Persahabatan akan diuji oleh waktu.
Kami menjalani persahabatan ini dengan cara sederhana yang mengalir saja. Kami menghargai satu sama lain, baik kesamaan pemikiran maupun beragam perbedaan yang kami miliki.
Benar, perbedaan. Dan perbedaan itu banyak sekali. Kami berbeda jenis kelamin, kami berbeda suku, berbeda lingkungan pergaulan, berbeda profesi, bahkan berbeda keyakinan.
Sejauh ini, semua persamaan dan perbedaan itu kami coba kelola untuk menjadi hal yang menguatkan, bukan meretakkan. Dan sungguh aku syukuri bahwa hal tersebut bisa terjadi dalam hitungan tahun yang terus bertambah.
Kami tak pernah banyak bicara manis atau mengawang- ngawang. Tentu saja kami juga berharap persahabatan ini akan berlangsung panjang. Tapi kami lebih banyak menjalaninya dengan sikap saja, bukan dengan kata- kata. Tak akan ada banyak gunanya kata- kata jika semua itu semu atau sikap ternyata tak tulus dan berbeda dengan yang dikatakan.
Buat apa menggembar- gemborkan persahabatan sejati, misalnya, tapi sebab fondasinya rapuh, tahu- tahu tak lama yang terjadi adalah loe-gue-end? He he he.
Persahabatan, seperti banyak hal lain di dunia ini, adalah masalah menghargai pihak lain dan pengelolaan ego. Semoga kami masih bisa menjalani persahabatan macam ini hingga waktu yang panjang ke depan...
[caption id="attachment_348591" align="aligncenter" width="411" caption="Ada yang membagikan cup cake gratis untuk merayakan Idul Adha di sekitar Masjidil Haram. Dok: rumahkayu"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H