Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Ketika Seorang Sahabat Membantu Menjaga Hati ( Catatan dari Perjalanan Haji )

10 November 2014   07:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:11 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

The greatest gift of life is friendship, and I have received it ~ Hubert H. Humphrey

" MAKASIH ya, nasihatnya waktu itu. "

" Nasihat yang mana? "

" Yang pas aku lagi naik haji. Waktu sedang kesal di Madinah. Kita ngobrol waktu itu dan kamu nasihatin aku. Ngepas banget deh. Abis itu aku jadi lebih tenang. "

" Yang mana ? "

Aku mencoba menerangkan.

Di ujung sana, seorang sahabat, tetap juga tak bisa mengingat detail peristiwa yang aku sebutkan. Peristiwa yang membuatku sangat berterima kasih padanya.

" Nggak ingat, D, sorry... he he he... "

Ya ampun. Aku tidak tahu harus tertawa atau harus sebal jadinya. Nasihatnya masuk begitu dalam ke hatiku, yang memberi nasihat malah tak ingat lagi. Tapi pada akhirnya, aku memahami kenapa.

***

[caption id="attachment_352882" align="aligncenter" width="638" caption="Pelataran di atap Masjid Nabawi. Dok. pribadi"][/caption]

Sore itu kuterima sebuah pesan, " Sudah pulang, D ? "

Aku pahami pertanyaan itu. Yang ditanyakan adalah apakah aku sudah tiba kembali di tanah air dari perjalanan ibadah hajiku.

" Sudaaahhh... " jawabku.

Kami bertukar satu dua kalimat, sampai kemudian kukatakan hal itu, " Terimakasih ya, nasihatnya waktu itu. "

Ucapan terimakasih yang tak segera berbalas, sebab yang diterimakasihi rupanya tak segera memahami untuk apa ucapan terimakasih itu diberikan.

Walah.

Padahal terimakasihku itu tulus. Sahabatku itu menyelamatkan hatiku dari banyak keresahan di hari- hari awal perjalanan pra ibadah hajiku, ketika aku berada di Madinah.

Sabar itu memang tidak mudah, ternyata. Ada banyak hal yang tak kita sepakati tampak di depan mata, baik dari orang- orang yang tak kita kenal, atau kita temui sekilas saja, maupun dari teman serombongan. Padahal, sejak berangkat sudah kuniatkan bahwa aku tak hendak berbantah, tak hendak bertengkar atau semacamnya selama perjalanan ibadahku itu.

Sayang amat, antri begitu lama, menunggu bertahun- tahun, biayanya juga tak murah, masa' mau dilewatkan dengan berbantah- bantahan. Terlebih, aku khawatir, jika itu terjadi, hal tersebut akan merusak ibadahku.

[caption id="attachment_352879" align="aligncenter" width="740" caption="Bagian dalam Masjid Nabawi - Madinah. Dok. pribadi"]

14155509872079138299
14155509872079138299
[/caption]

Aku ingat satu kalimat bijak yang pernah dikatakan Mahatma Gandhi yaitu " I have noticed that nothing I have never said ever did me any harm. "

Aku sungguh tak ingin merusak perjalanan ibadah yang telah lama kuimpikan, kunantikan dan kuupayakan agar bisa terjadi itu. Maka... mau tak mau, kekesalan itu kutekan sedemikian rupa. Kututup mulutku rapat- rapat. Seingin apapun aku berkomentar kesal, atau marah, kuupayakan agar kekesalan dan kemarahan itu tak keluar dalam bentuk kata- kata. Sebisanya, aku mingkem saja.

Lalu apakah kekesalan itu juga langsung mereda ketika mulut tak bicara? Tidak selalu juga. Sejujurnya, ada banyak saat walau aku tak bicara, kekesalan itu masih menggantung dan mengusik- usik hati.

Dalam situasi begitu, kuperbanyak shalatku. Kuulangi lagi shalat taubat. Lagi dan lagi. Karena siapa tahu aku kesal sebab tak bersih hati. Semoga dengan shalat taubat itu kekesalan bisa terkurangi.

Disamping shalat taubat itu, pertolongan datang tak sengaja. Salah satunya dari sabahatku ini. Ketika aku sedang berkutat dengan banyak hal yang membuatku kaget dan kesal, sebuah pesan masuk ke telepon genggamku, menanyakan apakah aku sudah tiba di Tanah Suci. Pesan itu datang dari sahabat yang kuceritakan di atas.

Pesan tersebut kujawab. Kukatakan aku sudah berada di Madinah, dan kami kemudian terlibat obrolan yang lumayan panjang. Kuceritakan hari- hariku di Madinah padanya. Kukatakan betapa aku mendapat kemudahan ketika ke Rauhdah, dimana aku dijaga oleh orang- orang yang tak kukenal saat sedang melaksanakan shalatdi Raudhah.

Disamping itu, kuceritakan juga padanya tentang pengalamanku melihat hal- hal yang tak kusepakati, yang membuatku kesal. Dan saat kuceritakan hal inilah sahabatku itu menasihati aku. Nasihat yang kemudian membantuku merefleksikan banyak hal. Membuatku bisa lebih tenang, lebih sabar, dan lebih menahan diri lagi.

Sebab itulah pada kesempatan pertamaku bertukar sapa lagi dengannya ketika aku sudah kembali ke tanah air, kuucapkan terimakasih padanya. Dan setengah geli setengah ingin menjitak kepalanya sebab dia ternyata tidak ingat, apa yang pernah dikatakannya padaku.

" Tapi ingat kan, pernah ngobrol dengan aku saat aku di Madinah ? " tanyaku.

" Ingat, " katanya. " Aku cuma nggak ingat persisnya apa yang aku katakan sama kamu. "

Hih. Menggemaskan. Ha ha ha.

Kucoba menjelaskan lagi. Sampai akhirnya sahabatku itu penasaran. Dicarinya dalam telepon genggam dia percakapan yang kumaksud. Dia temukan. Dan diapun membaca ulang semuanya.

" Oh yang itu yang dimaksud, " akhirnya dia berkata.

" Iyaaaa... " kataku gemas. " Nah, sudah tahu kan sekarang? Makasih ya... "

Namun dia tetap tak terlalu menanggapi ucapan terimakasihku. Menurutnya, apa yang dikatakannya padaku itu biasa- biasa saja. Dia memang menasihatiku tapi menurutnya mengapa hal itu menjadi dalam efeknya bagiku bukan semata karena kalimat yang dia katakan saja, tapi bisa jadi sebab dikatakan pada waktu yang tepat, ditambah aku sendiri kemudian merenungkannya. Maka semua itu jadi masuk ke hati.

Kupikir- pikir, bisa jadi juga begitu.

Kami sudah bersahabat lamaaaaaaa sekali. Hitungan persahabatan kami sudah menembus angka dua puluh tahun. Aku percaya padanya sebab tahu dia tulus hati. Maka ketika dia mengatakan sesuatu, kuterima itu sebagai suatu kebenaran. Ketika dia menasihatiku, kupikirkan apa ucapannya dan sebab apa yang dikatakannya memang baik, kuupayakan untuk menurutinya.

Walau merasa peristiwa yang terjadi agak 'lucu' ketika dia sendiri tak terpikir bahwa apa yang diucapkannya bisa berefek begitu dalam, akhirnya memang kupahami mengapa begitu. Sabahatku ini memang orang baik. Sangat baik. Dalam persahabatan kami yang begitu panjang, sejauh yang bisa kuingat, dia memang selalu bicara baik, dengan tujuan kebaikan pula. Maka sebab bicara baik itu memang kebiasaannya, tak heran jika dia menganggapnya biasa- biasa saja.

" Pantesan ya, " komentarku, " Kengapa para orang bijak menganjurkan kita untuk bicara yang baik- baik. Sebab kita tak pernah tahu, seperti apa efek bicara kita itu. Yang dipikir biasa- biasa saja oleh yang bicara, ternyata efeknya bisa dalam pada yang diajak bicara. "

Sahabatku mengomentari ucapanku. " Begitu juga sebaliknya, D,  " katanya, " Bayangin kalau kita bicara buruk, lalu kita tidak ingat lagi hal itu, tapi yang diajak bicara mengingat hal itu seumur hidupnya. "

" Iya, " kataku menyepakati.

***

[caption id="attachment_352880" align="aligncenter" width="760" caption="Masjidil Haram - Mekah. Dok. pribadi"]

1415551296682622423
1415551296682622423
[/caption]


Ah.

Aku sudah selalu berterimakasih pada Sang Maha Cinta sejak dulu, atas karunianya memberikan padaku seorang sahabat sangat baik hati seperti sahabat yang kuceritakan ini. Dan tak putus kusyukuri karunia itu.

Percakapan- percakapan kecil yang menyentuh serupa yang kami lakukan ini, tentu saja sudah banyak kali terjadi sepanjang masa persahabatan kami. Betapa kusyukuri bagaimana selama ini kumiliki seorang sahabat yang ketulusan dan kebaikan hatinya mengalir begitu banyak, dan pada banyak saat membantuku menjaga hati pula...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun