Mohon tunggu...
Rumah Belajar Persada
Rumah Belajar Persada Mohon Tunggu... -

Pokoknya dimana saja,kapan saja, dan bersama siapa saja; belajar itu sebaiknya jalan terus.... We Can Do It !\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sutardji Calzoum Bachri di Malam Sastra Persada

11 Oktober 2016   09:59 Diperbarui: 11 Oktober 2016   10:43 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Agus (kanan) menggagas kebersamaan rutin dengan Sutardji (dok RBP)

Sabtu (8/10) malam itu Bekasi bermandikan hujan yang intensitasnya bermain-main antara gerimis sampai deras, namun itu tak menjadi penghalang bagi beberapa puluh warganya untuk datang menghadiri Malam Sastra Persada yang digelar oleh PKBM ‘Tamansari Persada’ di Kampus Rumah Belajar Persada, Jatibening Baru, Bekasi.  

Mereka merepresentasikan banyak latar dari mulai para jurnalis muda yang tegabung dalam Forum Jurnalis Bekasi (Forjas), seniman, mahasiswa, anak-anak SMK binaan komunitas Sastra Kalimalang, para guru Homeschooling Persada beserta anak didik mereka yang didampingi orangtua atau hadir bersama teman-teman, dan tentu saja penggemar sejati dari sosok fenomenal yang tampil sebagai aktor utama malam itu.

Mereka semua ingin bertemu, tepatnya menyaksikan performa, dia yang menggelari dirinya sebagai Presiden Penyair Indonesia.  Dia adalah Sutardji Calzoum Bachri (75).

‘Kata’ bagi Sutardji bukanlah alat untuk menyampaikan pengertian, melainkan pengertian itu sendiri hingga kebebasan adalah sifat yang melekat padanya sebagai sebuah kepribadian yang utuh. Maka jangan kaget, bila menemukan puisi karya penyair peraih penghargaan South East Asia Write Award (1979) itu yang seolah berisi murni permainan kata seperti puisi berikut yang dibacakannya pada pementasan bertajuk ‘Ketika Kata Menjadi Kita’ ini.

kakiku luka

luka kakiku

kakikau lukakah

lukakah kakikau

kalau kakikau luka

lukakukah kakikau

kakiku luka

lukakaukah kakikau

kakiku luka

lukakaukah kakiku

kalau lukaku lukakau

kakiku kakikaukah

kakikaukah kakiku

kakiku luka kaku

kalau lukaku lukakau

lukakakukakiku lukakakukakikaukah

lukakakukakikaukah lukakakukakiku

(Puisi Belajar Membaca/Sutardji Calzoum Bachri, 1979)

Berkolaborasi musikal dengan Ane Matahari dan kelompok Sastra Kalimalang-nya, malam itu Sutardji tampil dengan toneyang dinamis lewat dialog lirik-lirik lagu lawas lintas bahasa dari Inggris, Melayu Riau, sampai Spanyol yang dinyanyikan bersama-sama menghantar bait-bait puisi yang dibacanya dalam ritme intonasi terjaga sambil duduk bersandar atau dengan punggung tegak, sesekali berdiri, bahkan menari sebelum duduk kembali di panggung yang ditata minimalis namun impresif itu.

Sutardji bahkan sesekali berseloroh mengundang tawa pemirsanya. Dia juga meniup harmonika untuk intro pengingat nada lagu yang digumamkannya dan kemudian disambut oleh Ane dengan petikan gitar selaras diikuti oleh tiga instrumen lain yang dimainkan rekan-rekannya.

………………………………………………………………………………………………………

tanah air kita satu
 bangsa kita satu
 bahasa kita satu
 bendera kita satu !


 Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
 mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
 tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
 yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
 di antara kita ?

………………………………………………………………………………………………………………….

(Petikan puisi Jembatan /Sutardji Calzoum Bachri, 1991)

Energi jiwa yang ditawarkannya merasuk lembut menggugah semangat (dok RBP)
Energi jiwa yang ditawarkannya merasuk lembut menggugah semangat (dok RBP)
Agus Basuki Yanuar, founder Rumah Belajar Persada sekaligus penggagas acara ini, menegaskan dalam sambutannya bahwa Malam Sastra Persada merupakan bagian dari agenda edukasi Malam Budaya di PKBM ‘Tamansari Persada’ yang akan digelar rutin tiga bulan sekali.

Agenda tersebut merupakan bagian dari upaya memperluas wawasan seputar  budaya-kebahasaan dan eksplorasinya yang diharapkan pula nantinya akan mendorong tumbuhnya kultur berbahasa santun penuh makna di antara para pengguna bahasa Indonesia. Sebuah kontribusi jangka panjang untuk kebudayaan dan peradaban luhur beretika. Sebuah proses belajar sepanjang hayat masih dikandung badan.

walau penyair besar

takkan sampai sebatas allah

dulu pernah kuminta tuhan

dalam diri

sekarang tak

kalau mati

mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat

jiwa membumbung dalam baris sajak

tujuh puncak membilang bilang

nyeri hari mengucap ucap

di butir pasir kutulis rindu rindu

walau huruf habislah sudah

alifbataku belum sebatas allah

(Puisi Walau / Sutardji Calzoum Bachri, 1979)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun